spot_img
BerandaHumanioraParu-Paru Peradaban yang Dibiarkan Bernapas Sendiri

Paru-Paru Peradaban yang Dibiarkan Bernapas Sendiri

Ironinya, mereka diminta untuk “inovatif”, “berintegritas”, dan “berdedikasi”, tiga kata yang kerap diucapkan oleh mereka yang paling jarang berkunjung ke kelas. Tak apa. Guru sudah lama ahli membaca situasi, bahkan situasi yang tak pernah dituliskan di modul pelatihan.

Oleh : Lembayung

Selamat Hari Ulang Tahun PGRI ke 80 dan Hari Guru Nasional

Di negeri yang gemar membuat slogan tentang pentingnya pendidikan, guru sering menjadi tokoh favorit… dalam pidato. Di lapangan, kisahnya lain. Di ruang kelas yang catnya mengelupas dan kipas anginnya hanya berputar sebagai formalitas, seorang guru berdiri dengan segala kesederhanaannya, menjalankan peran yang tak pernah benar-benar dibayar tuntas oleh keadaan. Guru bukan sekadar relasi kasih sayang; ia lebih dari itu, meski sering diperlakukan seolah hanya sekadar. Ia adalah jantung yang memompa peradaban, sekaligus paru-paru yang dibiarkan bekerja tanpa tabung oksigen.

Setiap hari, para guru menyulap kekurangan fasilitas menjadi kreativitas murahan—murahan bukan karena buruk, tapi karena memang murah secara anggaran. Mereka mengajar dengan spidol yang tintanya sakaratul, kursi yang bunyinya seperti protes sosial, dan administrasi yang lebih panjang dari nafas paragraf visi-misi sekolah.

Ironinya, mereka diminta untuk “inovatif”, “berintegritas”, dan “berdedikasi”, tiga kata yang kerap diucapkan oleh mereka yang paling jarang berkunjung ke kelas. Tak apa. Guru sudah lama ahli membaca situasi, bahkan situasi yang tak pernah dituliskan di modul pelatihan.

Namun begitulah para guru: masih juga datang paling pagi, pulang paling sore, dan di antaranya mengajar dengan hati yang terus disetrum oleh harapan—bukan oleh kesejahteraan. Mereka yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa, padahal sering juga tanpa tunjangan yang memadai. Tapi siapa peduli? Gelar heroik itu sendiri sudah dianggap cukup sebagai bayaran moral.

Dan lucunya, meski berkali-kali “dilupakan”, para gurulah yang tetap menjaga agar negeri ini tak tumbang sepenuhnya. Kadang kita bertanya-tanya: bagaimana jadinya bangsa ini tanpa guru? Mungkin tetap sama saja—hanya saja kebodohan akan tampil lebih jujur.

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments