spot_img
BerandaBudayaParade Dalang Cilik Sukoharjo: Pesta Semalam Tujuh Hari yang Menjaga Napas Kebudayaan

Parade Dalang Cilik Sukoharjo: Pesta Semalam Tujuh Hari yang Menjaga Napas Kebudayaan

Parade ini bukan sekadar tontonan, tetapi bagian dari program unggulan Sukoharjo Spektakuler yang digagas Bupati Etik Suryani dan Wakil Bupati Eko Sapto Purnomo. Program itu mendorong seni, budaya, musik, ekonomi kreatif, dan UMKM untuk bergerak bersama.

LESINDO.COM – Di Taman Budaya Suryani Sukoharjo, aroma batang pisang yang masih basah bercampur bau kayu wayang yang dipanaskan lampu blencong. Suasana itu menyambut siapa saja yang melangkah masuk pada Jumat pagi, 21 November 2025—hari ketika 58 dalang cilik menancapkan kayon pertama, menandai dimulainya “pesta tujuh hari” khas Sukoharjo.

Dalam cahaya remang dan tabuhan gender yang disetel halus, deretan bocah berseragam sekolah tampak berbaris rapi. Mereka bukan sekadar pelajar SD atau SMP, tetapi calon penjaga tradisi yang memegang kelangsungan salah satu seni tertua Tanah Jawa: wayang kulit.

Tangan Kecil, Cerita Besar

Ketika Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sukoharjo, Havid Danang Purnomo Widodo, menancapkan wayang ke batang pisang, sorak kecil terdengar dari bangku penonton. Di belakangnya, sejumlah dalang cilik gigih memeluk kotak wayang mereka, seolah sedang memeluk mimpi.

“Kegiatan ini bentuk kerja sama Disdikbud dan Pepadi Sukoharjo dalam rangka peringatan Hari Wayang Nasional 2025,” ujar Havid. Suaranya datar namun matanya menyiratkan bangga. Ia tahu betul, jumlah 58 dalang cilik bukan angka sembarangan. Di balik itu ada latihan malam, suara serak habis “nyandra”, dan jari-jari mungil yang mulai mengerti beratnya memegang tokoh Bima atau Arjuna.

Bukan hanya para dalang saja yang mendominasi panggung. Ada 120 pengrawit dan 36 sinden muda—semuanya putra daerah. Mereka terlihat seperti orkestrasi energi masa depan, merangkai gamelan dan tembang dengan kesungguhan yang jarang ditemui pada anak seusia mereka. “Kami ingin memberikan ruang sekaligus menambah jam terbang,” lanjut Havid. “Potensi budaya ini harus dijaga.”

Panggung yang Menjadi Jendela Masa Lalu

Dalam ruang pertunjukan yang remang oleh cahaya blencong, seorang dalang cilik tampak duduk bersila dengan penuh kesungguhan. Tangan kecilnya menggerakkan tokoh-tokoh wayang kulit—dari ksatria hingga raksasa—seolah dunia pewayangan lahir kembali di balik kelir putih. Balutan busana tradisional menegaskan wibawanya sebagai penerus seni pedalangan.(sr)

Di sisi panggung, pameran foto dalang-dalang besar asal Sukoharjo digelar. Setiap bingkai seperti membuka pintu masa lalu—menemukan senyum Ki Anom Suroto muda, gaya khas Ki Seno Nugroho, dan para tokoh pedalangan lokal yang namanya mungkin tidak melangit, tetapi akarnya kuat menancap di tanah Sukoharjo.

Ada pula festival tatah sungging. Di sana, suara ketukan pahat kecil di atas kulit kerbau menjadi musik tambahan, menyisip di antara gamelan. Anak-anak muda begitu tekun menggores warna dan garis, seolah sedang merawat dunia kecil yang hanya hidup lewat bayang-bayang.

Sukoharjo Spektakuler: Kolaborasi yang Menyala

Parade ini bukan sekadar tontonan, tetapi bagian dari program unggulan Sukoharjo Spektakuler yang digagas Bupati Etik Suryani dan Wakil Bupati Eko Sapto Purnomo. Program itu mendorong seni, budaya, musik, ekonomi kreatif, dan UMKM untuk bergerak bersama.

Wayang bukan hanya tradisi. Ia adalah ekosistem—ada pembuat wayang, sinden, pengrawit, peracik konsumsi, pedagang kecil, hingga komunitas kreatif yang bertemu dalam satu ruang. Dan selama tujuh hari itu, Taman Budaya Suryani berubah menjadi simpul pertemuan raksasa.

Menuju Rekor, Menuju Masa Depan

Di balik riuhnya panggung, terselip agenda yang tak kalah membanggakan: pemecahan rekor MURI untuk pentas dalang cilik terlama dengan peserta terbanyak. Rencananya, pada penutupan parade, Bupati Etik Suryani akan menerima sertifikat penghargaan itu—sebuah simbol betapa warisan budaya tidak hanya dijaga, tapi benar-benar dirayakan.

Bayang-Bayang yang Menuntun Zaman

Ketika malam turun dan blencong menyala, bayangan tokoh-tokoh wayang menari di kelir. Para dalang cilik itu menyunggingkan senyum kecil sebelum memulai. Entah mereka sadar atau tidak, mereka sedang memikul tradisi yang telah berjalan ratusan tahun, dari masa para wali hingga zaman digital. Dalam tangan-tangan mungil itu, masa depan budaya Jawa sedang dirawat.

Dan Sukoharjo, dalam tujuh malam berturut-turut, seolah ingin berkata:
“Wayang bukan sekadar pertunjukan, tetapi napas yang tak boleh padam.” (Brm)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments