spot_img
BerandaBudayaPakeliran Padat MURI: Swara Gamelan, Cah Anom, lan Warisan Leluhur Sukoharjo

Pakeliran Padat MURI: Swara Gamelan, Cah Anom, lan Warisan Leluhur Sukoharjo

Bagi orang Jawa, pakeliran bukan sebatas tontonan. Ia adalah laku, ruang perjumpaan antara kisah purwa, nilai luhur, dan dharma kehidupan. Di balik sabetan wayang yang tampak sederhana, tersembunyi ajaran tentang tata krama, keberanian, welas asih—pitutur yang tak lapuk dimakan modernitas.

LESINDO.COM – Di bawah langit Sukoharjo yang teduh, sebuah panggung besar berdiri seperti alun-alun budaya yang disulap menjadi pasewakan agung. Ratusan pelajar dan mahasiswa—cah-cah anom yang biasanya tenggelam dalam gawai dan tugas sekolah—hari itu hadir dengan wajah berseri, mengenakan busana Jawa lengkap. Mereka seakan melangkah memasuki ruang sakral, tempat tradisi ditabuh, roso dipupuk, lan ajining diri dipundhut saka warisan leluhur.

Hari itu, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo menerima Rekor MURI atas pementasan Pakeliran Padat oleh pelajar dan mahasiswa terbanyak. Sebuah prestasi yang, dalam pakem budaya Jawa, bisa disebut sebagai laku ngluhurake kabudayan sekaligus ngukuhake semangat bebrayan. Penghargaan tersebut bukan sekadar angka, bukan pula piagam seremonial, tetapi restu zaman bahwa generasi penerus masih memegang tungku budaya yang diwariskan para leluhur.

Pakeliran, Laku, dan Pitutur Purwa

Bagi orang Jawa, pakeliran bukan sebatas tontonan. Ia adalah laku, ruang perjumpaan antara kisah purwa, nilai luhur, dan dharma kehidupan. Di balik sabetan wayang yang tampak sederhana, tersembunyi ajaran tentang tata krama, keberanian, welas asih—pitutur yang tak lapuk dimakan modernitas.

Ketika swara gamelan mulai mengalun perlahan, slendro sanga menyapu udara dengan kelembutan khasnya. Kendang menjaga ritme, gender dan saron menyulam harmoni, sementara suara sinden muda melantunkan tembang bak swara sangkan paraning dumadi. Saat layar dibuka dan dalang anom memulai jejer, suasana seketika berubah menjadi paseban budaya yang hidup.

Di sudut belakang panggung, para pelajar tampak sibuk. Ada yang mengulang gerak tangan, ada yang mengelap keringat, ada pula yang membaca ulang catatan lakon. Seorang guru mendekat, menepuk pundak muridnya, dan berbisik lirih, “Ati-ati, ojo kesusu. Roso-ne kudu mlebu.”
Dalam dunia pakeliran, wejangan semacam itu bukan perkara teknis belaka. Ia adalah petuah roso—bahwa setiap gerak, suara, dan sabetan harus lahir dari ati sing resik.

Lintas Generasi di Panggung Budaya

Bupati Sukoharjo, Hj. Etik Suryani, S.E., M.M., secara resmi menerima penghargaan MURI, sebuah apresiasi yang tidak hanya menegaskan prestasi daerah, tetapi juga menjadi simbol keberhasilan Sukoharjo dalam merawat denyut kebudayaan. (mc)

Dalam rangka memperingati Hari Wayang Nasional, Sukoharjo menggelar persembahan yang tak sekadar meriah, tetapi juga menghadirkan denyut kebanggaan budaya. Sebanyak 90 dalang senior tampil berdampingan dengan 58 dalang pelajar, membentuk harmoni lintas generasi yang jarang disaksikan. Guru dan murid, sepuh dan anom, tampil dalam satu irama, seolah menunjukkan bahwa budaya adalah jembatan yang tak mengenal batas umur.

Ketika ratusan tokoh wayang bergerak serempak, penonton seperti melihat bahwa budaya tidak pernah benar-benar tua. Ia selalu menemukan kelahiran barunya melalui tangan-tangan pewaris muda.

Rekor MURI dan Napas Panjang Kebudayaan

Kerja kolektif para pengrawit, dalang, guru, mahasiswa, hingga pemerintah daerah itulah yang akhirnya mengantarkan Sukoharjo masuk dalam catatan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Namun lebih dari itu, prestasi ini menjadi sesorah zaman bahwa wayang bukan sekadar warisan. Ia adalah ruang belajar, ruang tumbuh, dan ruang pengabdian budaya.

Di tengah derasnya arus digital, Sukoharjo membuktikan bahwa kearifan Jawa tidak untuk dipajang dalam etalase museum. Ia perlu dihidupi—ditabuh, disenandungkan, disabetkan dengan tulus oleh para pewarisnya.

Masyarakat Jawa percaya, nguri-uri kabudayan bukan hanya tugas para sesepuh. Justru ketika generasi muda njinggleng maju ke panggung, budaya menemukan napas panjangnya. Dari para pelajar yang menabuh gamelan, menyinden, hingga dalang anom yang memulai jejer, terpancar cahya masa depan: masa depan di mana tembang tak padam, gamelan tak bisu, dan pakeliran tetap menjadi cermin kebijaksanaan hidup.

Pementasan monumental ini bukan akhir, melainkan pamedare—pembuka perjalanan panjang untuk terus nglestarekake seni, roso, lan jati diri Jawa di tanah Sukoharjo. Semoga dari tangan-tangan muda yang tampil hari itu, lahir generasi yang tak hanya bangga pada warisan leluhur, tetapi juga mampu membawa cahya budaya menuju cakrawala masa depan. (Et)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments