LESINDO.COM – Pagi itu, Pantai Kuta tampak seperti ruang meditasi alam terbuka. Ombaknya lembut, udara masih basah oleh embun, dan pasir belum dipenuhi jejak wisatawan. Di tengah riak kecil yang memutih, seorang perempuan pemula berdiri di atas papan selancar. Senyumnya merekah ketika ia berhasil menaklukkan gelombang pertama pagi itu.
“Kalau pagi begini, laut seperti sedang sabar,” ujar Wayan Sutirta (32), instruktur selancar lokal yang telah 10 tahun mengajar di Kuta. Ia duduk di atas papan, mengamati para muridnya yang tersebar di antara ombak. “Untuk pemula, ini waktu terbaik. Ombaknya tidak terlalu kuat, dan pikiran juga masih jernih.”
Perempuan yang tampak lincah di atas papan itu sudah dua kali terjatuh sebelumnya. Setiap kali tersungkur, ia bangkit kembali dengan tawa yang menyembur, bukan frustrasi. “Rasanya campur aduk. Deg-degan, tapi senang,” katanya ketika kembali ke tepi pantai untuk beristirahat sebentar. “Saya tidak menyangka bisa berdiri. Ternyata lebih sulit menaklukkan rasa takut daripada ombaknya.”
Di sepanjang garis pantai, puluhan penyewaan papan selancar telah buka sejak matahari baru menyentuh cakrawala. Para pemiliknya tahu benar bahwa pagi adalah primadona bagi peselancar pemula. “Kalau sudah lewat jam 10, susah,” kata Made Aris (28), penjaga sewa papan. “Bukan ombaknya, tapi manusianya. Ramai sekali. Mau belajar pun jadi tidak leluasa.”

Aktivitas surfing pagi hari memang memberi wajah berbeda pada Kuta. Pantai yang biasanya riuh dengan musik dan aktivitas wisata, berubah menjadi arena latihan yang damai. Para pemula mencoba berdiri untuk pertama kalinya, para instruktur memberikan aba-aba, dan ombak kecil bergulung seolah menjadi guru yang baik hati.
“Yang penting itu yakin. Banyak orang takut duluan sebelum mencoba,” tambah Wayan. “Padahal di pagi hari, Kuta itu seperti sahabat. Dia tidak menakutkan. Justru memberi ruang untuk belajar.”
Ketika matahari mulai naik dan pantai pelan-pelan dipenuhi wisatawan, perempuan tadi menepi sambil membawa papannya. Nafasnya terengah, rambutnya basah, tetapi wajahnya tampak berbinar—seperti seseorang yang baru saja memenangkan pertarungan kecil dengan dirinya sendiri.
“Ini pengalaman yang ingin saya ulangi,” katanya sambil menatap laut yang mulai berkilauan. “Ternyata ombak itu bukan hal yang harus ditakuti. Ia justru mengajarkan sesuatu: kalau jatuh, ya bangun lagi.”
Dan mungkin itulah hikmah paling tenang yang bisa dipungut dari Kuta pagi hari: bahwa di balik gelombang, ada pelajaran tentang keberanian; dan di balik tawa para peselancar pemula, ada kebahagiaan sederhana yang hanya bisa ditemukan ketika manusia berani menyapa alam di saat yang paling sunyi. (Dhe)

