LESINDO.COM – Di tanah yang diselimuti kabut pagi dan suara gamelan dari kejauhan, orang Jawa memandang hidup bukan sebagai garis lurus, melainkan lingkaran yang berputar tanpa ujung. Di dalam lingkaran itu, nama hanyalah penanda sementara, jabatan cuma peran singkat, dan kehidupan hanyalah pentas di antara kelahiran dan kematian. Maka, ketika seorang Jawa menanggalkan namanya di usia senja, sejatinya ia sedang pulang — bukan ke rumah, melainkan ke jati dirinya yang paling dalam.
Tidak Ada Marga, Karena Semua Saudara
Bagi orang Batak, Bali, atau Minahasa, marga adalah penanda asal-usul dan kebanggaan. Namun bagi orang Jawa, marga justru dianggap sekat yang tidak perlu. Sejak dulu, masyarakat Jawa mengenal konsep sedulur saklawase — saudara sepanjang hayat. Hubungan kekeluargaan tak diikat oleh garis marga, melainkan oleh nilai, rasa, dan laku.
Menurut budayawan dari Yogyakarta, Ki Sudibyo Wicaksono, pandangan ini lahir dari filosofi kebersamaan agraris yang melekat dalam kehidupan Jawa. “Orang Jawa dulu hidup dari tanah dan bekerja bersama. Mereka tidak butuh marga untuk tahu siapa saudaranya. Semua orang di desa adalah keluarga, karena mereka saling menjaga,” ujarnya.
Dalam sistem kerajaan, gelar dan nama bukanlah hak turun-temurun, melainkan anugerah atas jasa dan kesetiaan. Seorang abdi dalem bisa menyandang gelar Raden bukan karena darah bangsawan, melainkan karena budi pekerti dan pengabdian. Dari sini, lahir kesadaran bahwa kehormatan tidak diturunkan, tetapi dibentuk oleh perilaku.
Nama yang Berganti, Jiwa yang Menyatu

Ketika usia menua dan langkah mulai pelan, sebagian priyayi Jawa memilih mengganti namanya. Tradisi ini bukan sekadar simbol spiritual, melainkan bentuk laku prihatin — perjalanan batin untuk menanggalkan segala pamrih duniawi. Nama lama dianggap menyimpan jejak peran dan ambisi, sementara nama baru menjadi tanda kelahiran batin. Dari “Raden Mas Suryodiningrat” menjadi “Ki Suryo”, misalnya, bukan sekadar perubahan ejaan, melainkan perubahan makna: dari kebesaran dunia menuju kesederhanaan jiwa.
Budayawan Universitas Sebelas Maret, Dr. Retno Puspitasari, menjelaskan: “Dalam pandangan Jawa, mengganti nama berarti menyucikan diri. Itu tanda seseorang sudah tidak lagi mengejar dunia, melainkan mencari keseimbangan batin.”
Pergantian nama ini sejalan dengan falsafah cakra manggilingan — roda kehidupan yang terus berputar. Semua yang tinggi akan merendah, yang muda akan menua, dan yang hidup akan kembali pada asalnya. Sebuah kesadaran bahwa kehidupan adalah perjalanan, bukan tujuan.
Tiga Wajah Masyarakat Jawa: Priyayi, Santri, dan Abangan
Kehidupan sosial Jawa, sebagaimana dijelaskan antropolog Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java, terbagi menjadi tiga golongan besar: priyayi, santri, dan abangan. Ketiganya bukan kasta, melainkan lapisan kultural yang saling berkelindan dalam kehidupan masyarakat. Pertama Priyayi, golongan bangsawan atau birokrat, hidup dengan kehalusan tutur dan tata krama. Mereka menjunjung tinggi estetika, sopan santun, dan ketenangan batin. Kedua Santri, yang berakar pada pesantren dan ajaran Islam, menempatkan agama sebagai pusat kehidupan. Mereka hidup dalam kedisiplinan spiritual dan moral. Dan ketiga adalah Abangan, kelompok rakyat kebanyakan, menjalankan tradisi kejawen dengan keseimbangan antara spiritualitas dan realitas. Mereka menyatukan Islam dengan kepercayaan lokal dan penghormatan terhadap leluhur.
Menariknya, dalam satu keluarga Jawa bisa lahir tiga wajah ini sekaligus. Seorang anak menjadi santri, saudaranya abangan, dan ayahnya seorang priyayi. Tidak ada pertentangan, karena dalam pandangan Jawa, keberagaman adalah keseimbangan. Seperti batik: motifnya berbeda, tapi semua saling menguatkan dalam satu kain kehidupan.
Menjadi Jawa, Menjadi Manusia
Bagi orang Jawa, menjadi manusia yang paripurna bukan soal darah, jabatan, atau gelar. Ia tentang bagaimana seseorang menjaga tata krama, menahan diri, dan menghormati sesama. Petuah lama mengingatkan: “Ngajeni tanpa pamrih, sabar tanpa batas, lan eling marang Gusti.”
Dalam pandangan itu, marga tak perlu, nama pun sementara. Karena pada akhirnya, semua nama akan pudar, semua gelar akan tertinggal. Yang abadi hanyalah laku — jejak kebajikan yang ditinggalkan di hati orang lain. Seorang sesepuh desa di Klaten pernah berkata pelan sambil menatap langit sore: “Urip kuwi mung mampir ngombe, Le. Nanging sakdurunge lunga, ninggalna rasa bening kanggo wong liya.”
(Hidup itu hanya singgah untuk minum, Nak. Tapi sebelum pergi, tinggalkanlah rasa jernih untuk sesama.) Dan mungkin di sanalah kearifan sejati orang Jawa — memahami bahwa hidup bukan tentang meninggalkan nama, melainkan meninggalkan makna. (Cha)