LESINDO.COM-Dalam kehidupan modern yang serba cepat, kita kerap tanpa sadar menimbang-nimbang hidup sendiri dengan hidup orang lain. Melihat teman yang tampak selalu bahagia, rekan kerja yang kariernya menanjak, atau tetangga yang seolah tak pernah kekurangan. Dalam psikologi, kebiasaan ini disebut social comparison—perbandingan sosial. Kita mencari tolok ukur bahagia dari wajah orang lain, bukan dari hati sendiri.
Namun, semakin sering kita menatap ke luar, semakin kabur pandangan kita ke dalam. Kita lupa bahwa setiap orang berjalan di jalannya masing-masing. Orang yang tampak bahagia mungkin juga sedang berjuang menyembunyikan letihnya. Kita semua punya cerita, hanya saja tidak semua babnya terbuka untuk dibaca orang lain.
Orang Jawa sejak lama memahami kegelisahan semacam ini. Mereka menenun kebijaksanaan hidup melalui pepatah dan tembang, salah satunya lewat falsafah nrimo ing pandum—menerima bagian hidup dengan lapang dada. Dalam Serat Wedhatama, KGPAA Mangkunegara IV menulis:
“Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani.”
(Ilmu sejati dicapai melalui laku dan kesungguhan hati; bukan dari iri atau amarah.)
Maknanya dalam: hidup tidak akan tenteram bila dijalani dengan hati yang terus membanding dan mengeluh. Nrimo ing pandum bukan berarti pasrah tanpa daya, melainkan bentuk kesadaran bahwa hidup punya ritme dan waktu yang berbeda bagi setiap orang. Ada musim menanam, ada pula waktu menunggu panen. Yang penting adalah tetap eling lan waspada—ingat siapa diri kita, dan sadar kemana langkah hendak dibawa.
Dalam tembang macapat Sinom, juga terdapat nasihat yang sejalan:
“Sinom iku tandhaning bocah, durung wurung panggalihe, aja dumeh, aja cidra, tansah eling marang Gusti.”
(Sinom melambangkan masa muda; jangan sombong, jangan menipu, dan selalu ingat kepada Tuhan.)
Pitutur ini mengingatkan bahwa ketenangan bukan datang dari kemenangan atas orang lain, tetapi dari kejujuran pada diri sendiri. Saat kita eling akan asal-usul dan waspada pada langkah hidup, rasa cukup tumbuh seperti air bening di dasar sendang—diam, tapi memantulkan cahaya kehidupan.
Mungkin benar, mereka yang kita anggap lebih bahagia pun sedang memandang kita dengan pandangan serupa. Hidup memang sering tampak indah dari kejauhan; yang terlihat hanya cahaya, bukan bayangannya.
Ketika kita berhenti mengukur diri dengan ukuran orang lain, dan mulai menghargai tiap langkah kecil yang telah ditempuh, rasa syukur tumbuh. Seperti padi di sawah, tidak terburu-buru, tapi pasti. Dari situ kita belajar: bahagia bukan hasil perbandingan, melainkan buah dari penerimaan.
Nrimo ing pandum adalah seni untuk berhenti berlari mengejar bayangan, dan mulai berjalan di jalan sendiri—dengan hati yang tenang, ringan, dan penuh syukur. Sebab dalam setiap bagian hidup yang kita terima, sejatinya sudah terkandung cukup cahaya untuk membuat perjalanan ini bermakna. (gus)

