spot_img
BerandaHumanioraNenek Penjual Kopi di Ujung Pelabuhan Lembar

Nenek Penjual Kopi di Ujung Pelabuhan Lembar

Kopi yang ia jual mungkin pahit, tetapi hidupnya tidak sesuram rasa itu. Ia masih bisa tersenyum, masih bisa bersyukur. “Yang penting sehat,” katanya sambil merapikan termos di sampingnya. “Bisa jualan, bisa makan, itu sudah cukup.”

LESINDO.COM – Sore itu, angin dari laut berhembus cukup kencang di Pelabuhan Lembar. Di antara deru mesin kapal dan langkah para buruh yang sibuk memindahkan barang, seorang nenek duduk bersandar di tiang batu trotoar. Tubuhnya mungil, berselimut kain batik dengan kerudung hijau toska yang menutupi rambutnya yang telah memutih. Di depannya, dua termos biru berdiri tegak, di samping keranjang plastik berisi sachet kopi, gula, sendok, dan beberapa jajanan ringan.

Setiap hari, nenek ini datang ke pelabuhan. Tak peduli terik matahari atau hembusan angin laut yang menusuk, ia tetap setia di tempatnya. Di pelabuhan ini, di antara lalu lintas kendaraan dan debu jalan, ia mengais rezeki dari dagangan yang tampak sederhana—kopi panas dan teh manis yang disajikan dengan penuh kesabaran.

“Kalau pagi ramai, tapi kalau sore sepi,” ucapnya pelan, sambil menatap kapal yang tengah bersandar. Tak ada keluh dalam suaranya, hanya nada datar yang sarat penerimaan.

Di tengah kerasnya kehidupan, nenek penjual kopi ini menjadi potret sederhana tentang keteguhan hati. (mac)

Usianya sudah senja, namun semangatnya tak pudar. Setiap langkah menuju pelabuhan adalah wujud tekad untuk tetap mandiri. Ia tak ingin bergantung pada siapa pun. Di usia yang mungkin semestinya menjadi waktu istirahat, nenek ini justru memilih untuk tetap bekerja. Bagi dirinya, hidup adalah tentang bergerak—tentang terus berusaha selama tubuh masih diberi tenaga.

Kopi yang ia jual mungkin pahit, tetapi hidupnya tidak sesuram rasa itu. Ia masih bisa tersenyum, masih bisa bersyukur. “Yang penting sehat,” katanya sambil merapikan termos di sampingnya. “Bisa jualan, bisa makan, itu sudah cukup.”

Di balik kesederhanaannya, nenek penjual kopi ini mengajarkan arti keteguhan hati. Bahwa rezeki bukan hanya tentang uang, melainkan tentang keberanian untuk terus berdiri di atas kaki sendiri. Di tengah derasnya arus zaman, ia menjadi potret kejujuran kerja dan kesabaran yang mulai jarang dijumpai.

Ketika senja menurunkan langit keemasan di atas laut, nenek itu masih duduk di tempatnya. Sisa air kopi dalam termosnya mungkin tak seberapa, tapi kehangatan dari semangatnya akan selalu tersisa—seperti aroma kopi yang perlahan menguap, namun meninggalkan jejak yang dalam. (Ndu)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments