spot_img
BerandaBudayaNegeri Sayur Suka Makmur: Nepal van Java di Lereng Sumbing

Negeri Sayur Suka Makmur: Nepal van Java di Lereng Sumbing

Bagi warga, pariwisata membuka peluang ekonomi baru. Pendapatan mereka tidak hanya bergantung pada hasil sayur, tetapi juga dari sektor wisata: jasa parkir, pemandu lokal, penjualan oleh-oleh, hingga kuliner khas seperti mi pedas Sumbing dan kopi lereng.

LESINDO.COM-Kabut turun pelan di antara rumah-rumah yang berdiri rapat di lereng gunung. Dari kejauhan, deretan bangunan berwarna-warni itu tampak menempel di dinding pegunungan, seolah menjadi lukisan hidup yang memeluk langit. Di sinilah, di ketinggian lebih dari seribu meter di atas permukaan laut, berdiri Dusun Butuh, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang — sebuah perkampungan yang kini terkenal dengan julukan “Nepal van Java.”

Julukan itu bukan tanpa alasan. Rumah-rumah warga yang tersusun bertingkat di lereng curam mengingatkan siapa pun pada perkampungan di kaki Himalaya, Nepal. Saat kabut menuruni lembah, pemandangannya seperti negeri di awan — menenangkan, dingin, dan memesona.

Namun di balik keindahan panorama itu, Dusun Butuh menyimpan denyut kehidupan yang kuat. Setiap pagi, para petani turun ke ladang, menyiangi dan memanen hasil bumi. Kol, kentang, wortel, cabai, dan daun bawang menjadi penggerak utama ekonomi dusun ini. Tak heran bila masyarakat menyebut tempat mereka “Negeri Sayur Suka Makmur.”

Tanah subur di lereng Sumbing memang memberi kehidupan. Sebagian besar warga menggantungkan hidup dari hasil pertanian, yang kemudian dijual ke pasar-pasar di Magelang, Temanggung, dan bahkan Yogyakarta. Musim panen selalu membawa kegembiraan tersendiri — bukan sekadar soal hasil, tetapi juga rasa syukur karena alam masih memberi rezeki.

Beberapa tahun terakhir, kehidupan di Dusun Butuh mengalami perubahan besar. Sejak dijuluki Nepal van Java dan viral di media sosial, wisatawan mulai berdatangan. Mereka datang bukan hanya untuk berfoto, tapi juga untuk merasakan kesejukan udara pegunungan dan keramahan warga setempat. Rumah-rumah penduduk pun banyak yang bertransformasi menjadi homestay. Warung kopi dan kios hasil tani bermunculan di sepanjang jalan.

Bagi warga, pariwisata membuka peluang ekonomi baru. Pendapatan mereka tidak hanya bergantung pada hasil sayur, tetapi juga dari sektor wisata: jasa parkir, pemandu lokal, penjualan oleh-oleh, hingga kuliner khas seperti mi pedas Sumbing dan kopi lereng.

Di tengah bentang alam itu, terlihat jalan setapak kecil yang membelah ladang, menjadi jalur para petani membawa hasil bumi mereka setiap hari. Udara yang bersih dan sejuk berpadu dengan suasana pedesaan yang tenang — seolah menjadi potret nyata kesejahteraan yang lahir dari kerja keras dan kesuburan alam.(mac)

Namun yang menarik, masyarakat Dusun Butuh tidak meninggalkan akar budaya mereka. Gotong royong masih menjadi napas kehidupan. Setiap pembangunan homestay, perbaikan jalan, hingga perayaan panen dilakukan bersama-sama. Mereka menjaga agar wisata tidak merusak nilai harmoni yang telah lama tumbuh antara manusia dan alam.

Menjelang sore, ketika kabut kembali turun dan sinar matahari perlahan meredup di balik punggung Gunung Sumbing, Dusun Butuh tampak semakin damai. Asap dapur mengepul dari rumah-rumah sederhana, anak-anak bermain di antara ladang, dan angin membawa aroma tanah basah yang khas. Di sini, waktu seolah berjalan lebih pelan — memberi ruang bagi siapa pun untuk belajar tentang arti kesederhanaan.

Nepal van Java bukan sekadar tempat indah untuk difoto, tetapi kisah nyata tentang manusia yang hidup dalam keseimbangan dengan alam. Sebuah negeri sayur yang benar-benar “suka makmur,” bukan karena kekayaan harta, melainkan karena kelimpahan rasa syukur, kerja keras, dan kebersamaan yang tak lekang oleh waktu. (Ona)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments