LESINDO.COM – Langkah kaki para peziarah terdengar lembut di pelataran Klenteng Sam Poo Kong, Semarang. Aroma dupa bercampur dengan semilir angin sore yang membawa ketenangan. Di balik dinding merah dan atap bergaya oriental itu, tersimpan kisah yang telah berlayar jauh melintasi lautan waktu—kisah tentang seorang laksamana besar dari Tiongkok, bernama Cheng Ho.
Laksamana Cheng Ho bukan sekadar sosok pelaut yang tangguh. Dalam setiap catatan sejarah, namanya lekat dengan semangat perdamaian dan persahabatan antarbangsa. Berabad-abad lalu, pada abad ke-15, kapal-kapal raksasa armadanya berlabuh di pesisir utara Pulau Jawa. Salah satu tempat yang disinggahinya adalah Semarang. Di sanalah, menurut cerita masyarakat, sang laksamana mendirikan tempat peristirahatan yang kini dikenal sebagai Klenteng Sam Poo Kong.
Berbeda dengan kisah ekspedisi laut yang kerap diwarnai penaklukan, Cheng Ho datang bukan untuk menjajah. Ia membawa rempah, sutra, dan senyum diplomasi. Ia datang untuk berdagang, untuk mengenal, dan untuk membangun jembatan persahabatan antara Tiongkok dan Nusantara.
“Beliau dikenal sebagai panglima yang tidak hanya kuat, tapi juga penuh welas asih,” tutur seorang penjaga klenteng yang setiap hari menyapu halaman dengan penuh takzim. “Orang-orang di sini percaya, semangat damai Cheng Ho masih menjaga tempat ini.”

Kini, Sam Poo Kong tak hanya menjadi rumah bagi umat Konghucu atau warga keturunan Tionghoa. Setiap tahun, ribuan orang dari berbagai etnis dan agama datang ke sini—ada yang berdoa, ada yang sekadar berziarah, dan ada pula yang hanya ingin menyentuh sejarah dengan ujung jarinya.
Di sinilah harmoni itu hidup. Ukiran naga dan singa yang megah berpadu dengan langgam arsitektur Jawa; warna merah, emas, dan hijau saling bertaut tanpa saling meniadakan. Semua tampak menyatu dalam keindahan yang lahir dari pertemuan dua budaya.
Lebih dari sekadar bangunan, Klenteng Sam Poo Kong adalah prasasti tentang akulturasi—tentang bagaimana perbedaan bisa berpadu, dan sejarah bisa menjadi guru perdamaian.
Jejak Cheng Ho mungkin telah lama terhapus oleh ombak, tetapi nilai yang ia tanamkan tetap hidup di hati banyak orang. Nilai tentang persahabatan, kesetiaan, dan penghormatan terhadap sesama.
Ketika matahari mulai tenggelam di balik bukit Semarang, bayangan merah Klenteng Sam Poo Kong memantul di lantai batu yang hangat. Di sana, dalam keheningan yang khidmat, seolah terdengar gema pelan: Laut boleh berjarak, tapi hati manusia bisa berlabuh di tempat yang sama—di dermaga perdamaian. (cha)

