LESINDO.COM- Di antara rindang pohon trembesi yang menua dan desau angin yang datang dari arah Kali Pepe, Monumen 45 Banjarsari berdiri seperti seorang tua yang sabar: tegap, diam, tapi menyimpan kisah panjang tentang kota yang pernah menjadi medan juang. Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya menghangatkan Solo, bangunan berkubah joglo itu menerima para jogger, pesepeda, dan warga yang sekadar mencari udara segar—tanpa banyak yang benar-benar berhenti untuk membaca lagi kisah yang tertulis pada relief-relief batu di sekelilingnya.
Namun, tujuh dekade lalu, kawasan ini bukanlah taman hijau dengan bangku-bangku besi dan air mancur. Banjarsari adalah ruang di mana kota memahat memorinya sendiri: tentang dentuman mortir, suara langkah para pejuang, dan pertempuran empat hari yang mengguncang Solo.
Empat Hari yang Mengubah Kota
Agustus 1949. Solo belum pulih dari letih perang. Namun Letkol Slamet Riyadi—anak muda jenius strategi yang namanya kelak diabadikan sebagai salah satu pahlawan—mengajak rakyat dan pasukannya melakukan manuver terakhir menghadapi agresi militer Belanda. Serangan Umum Empat Hari mengubah kota ini menjadi panggung perlawanan: gang-gang kecil menjadi jalur gerilya, rumah-rumah menjadi pos komando, dan tangan-tangan rakyat menjadi perpanjangan logistik perang.
Di antara cerita-cerita perlawanan itu, ada kisah perempuan-perempuan kampung yang datang membawa bekal dalam bakul bambu; nasi, singkong rebus, atau hanya seteguk air bersih. Kisah itu kemudian diabadikan pada salah satu patung monumen: seorang wanita dengan keranjang di tangan, berdiri tegak sebagai lambang bahwa kemerdekaan juga lahir dari dapur-dapur sederhana.
Dari Tanah Villa Park ke Taman Perlawanan
Lokasi Monumen 45 dulunya adalah Villa Park Banjarsari, taman kota era kolonial yang asri tetapi berjarak dari rakyat. Seusai Indonesia merdeka, taman ini pelan-pelan mengambil wajah baru—bukan lagi simbol kolonialisme, melainkan tempat kota menaruh ingatan sejarahnya.
Pada 1973, Pemerintah Kota Surakarta mulai membangun monumen peringatan perjuangan Solo. Tiga tahun kemudian, pada tanggal 10 November 1976, monumen diresmikan. Tinggi bangunannya 17 meter—angka yang tidak sekadar angka, melainkan simbol kemerdekaan: 17 Agustus. Relief-relief yang mengelilinginya mengisahkan perjalanan bangsa: dari kobaran perang gerilya, masa awal republik, hingga fase pembangunan.
Di bawah atap joglo yang megah, warga Solo seakan diajak mengendapkan sejenak perjalanan bangsa. Setiap lekuk ukiran, setiap figur pejuang, mengantar ingatan kita pada masa ketika kemerdekaan bukan sekadar perayaan, melainkan perjuangan penuh keringat dan risiko.
Monjari yang Pernah Menjadi Pasar

Seperti tubuh yang menua, taman Monumen 45 pernah mengalami masa-masa sulit. Krisis moneter 1998 membawa ratusan pedagang tumpah ke kawasan ini. Monumen perlahan tersembunyi di balik lapak-lapak barang bekas, terpal plastik, dan keramaian pasar klithikan. Patung-patung pejuang yang dulu gagah, kini lebih sering menjadi latar belakang foto KTP atau tempat berteduh dari panas siang.
Namun, pada pertengahan 2000-an, kota kembali merapikan ingatannya. Revitalisasi dilakukan: pedagang dipindahkan, ruang hijau dipulihkan, jalur pedestrian dibangun, pepohonan ditanam ulang. Di bawah kepemimpinan wali kota kala itu, kawasan ini dikembalikan sebagai ruang publik — ruang bagi warga untuk bernapas, bersosialisasi, sekaligus belajar sejarah.
Hari ini, Monumen 45 kembali menjadi jantung Banjarsari yang lapang dan ramah. Sore hari, kursi-kursi taman penuh oleh orang tua yang mengajak cucu bermain, komunitas olahraga, mahasiswa yang mencari ketenangan, atau warga yang hanya ingin duduk diam memandangi siluet monumen ketika senja jatuh.
Tempat di Mana Kota Mengingat
Yang membuat Monumen 45 tetap penting bukan hanya kisah empat hari pertempuran. Monumen ini adalah cara sebuah kota menjaga kewarasannya: mengingat bahwa sejarah tidak pernah benar-benar pergi. Ia berdiri di antara pepohonan, memberi ruang bagi kita untuk berhenti sejenak, untuk menyimak suara masa lalu yang berbisik pelan:
“Kemerdekaan ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari keberanian terbaik yang pernah dimiliki anak-anak kotamu.”
Dan mungkin itulah yang membuat setiap kunjungan ke Monjari selalu meninggalkan rasa yang sama: tenang, sekaligus hormat. (Bil)

