spot_img
BerandaHumanioraMereka yang Datang Saat Perlu, Pergi Saat Tak Lagi Untung

Mereka yang Datang Saat Perlu, Pergi Saat Tak Lagi Untung

Di tengah lalu-lalang itu, ada segelintir orang yang bertahan. Jumlahnya tidak banyak, karena memang tidak semua orang tahan melihat isi, bukan kemasan. Mereka datang bukan untuk meminjam cahaya, melainkan duduk dalam gelap bersama. Mereka tidak bertanya apa yang bisa kamu berikan, tetapi apa yang sedang kamu rasakan.

Oleh Ratih Arunika

Hidup punya cara kerja yang efisien, nyaris korporatis. Ia tidak perlu rapat evaluasi atau surat pemberitahuan. Begitu seseorang tak lagi memberi keuntungan, sistem langsung melakukan pemutusan hubungan batin. Tanpa pesangon. Tanpa penjelasan.

Pada tahap awal, manusia memang mudah jatuh cinta pada etalase. Kemasan yang rapi, pencapaian yang bisa dipamerkan, posisi yang menguntungkan untuk disebut dalam obrolan. Selama kamu masih tampak “bernilai”, hubungan akan terasa hangat. Sapaan rutin. Perhatian intens. Sesekali pujian yang terdengar tulus, meski sebenarnya sedang menghitung laba.

Namun waktu selalu jujur—dan manusia, sering kali tidak. Ketika manfaat mulai menipis, nada suara berubah. Pesan tak lagi dibalas cepat. Pertemuan ditunda tanpa alasan jelas. Kamu tidak salah apa-apa, hanya tak lagi relevan. Dalam kamus relasi pragmatis, itu sudah cukup untuk pergi diam-diam.

Yang menarik, mereka jarang menyebutnya kepergian. Mereka menyebutnya sibuk. Atau berubah. Atau fase hidup. Padahal yang berubah hanyalah kepentingan. Hubungan pun diperlakukan seperti kontrak proyek: selesai tugas, selesai pula kedekatan.

Di tengah lalu-lalang itu, ada segelintir orang yang bertahan. Jumlahnya tidak banyak, karena memang tidak semua orang tahan melihat isi, bukan kemasan. Mereka datang bukan untuk meminjam cahaya, melainkan duduk dalam gelap bersama. Mereka tidak bertanya apa yang bisa kamu berikan, tetapi apa yang sedang kamu rasakan.

Maka ketika satu per satu orang pergi, jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri. Alam semesta sedang melakukan kurasi. Membersihkan ruang batin dari relasi yang salah alamat. Pedas rasanya, tentu. Tapi seperti jamu: pahit di lidah, menyelamatkan badan.

Pada akhirnya, hidup tidak sedang mengurangi temanmu. Ia hanya memastikan bahwa yang tersisa bukan sekadar penonton yang datang saat panggung terang, lalu pulang ketika lampu dipadamkan. Yang bertahan adalah mereka yang melihatmu tanpa sorotan, tanpa manfaat, dan tanpa perlu alasan untuk tetap tinggal.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments