spot_img
BerandaJelajahMercusuar Baron: Menjaga Laut, Menjaga Jarak Manusia dari Hiruk Pikuk

Mercusuar Baron: Menjaga Laut, Menjaga Jarak Manusia dari Hiruk Pikuk

Di ketinggian ini, manusia terasa kecil. Angin bertiup kencang, memaksa siapa pun untuk memegang pagar besi lebih erat—bukan hanya demi keseimbangan tubuh, tapi juga kesadaran diri. Banyak pengunjung terdiam lebih lama dari yang direncanakan. Ada yang sibuk memotret, ada yang hanya berdiri, membiarkan pikiran mereka dibawa angin.

LESINDO.COM – Tangga besi itu melingkar seperti pikiran manusia yang tak pernah lurus. Setiap langkah menaik, suara ombak Pantai Baron perlahan mengecil—bukan menghilang, hanya menjauh. Di sinilah Mercusuar Tanjung Baron berdiri, tidak untuk dipamerkan, melainkan untuk berjaga.

Pagi itu angin berhembus lebih jujur dari biasanya. Menyapu wajah, menyusup ke sela anak tangga, seolah mengingatkan bahwa laut selatan tidak pernah sepenuhnya jinak. Mercusuar setinggi 40 meter ini bukan sekadar bangunan beton sembilan lantai. Ia adalah penanda—bagi kapal, bagi manusia, dan bagi waktu.

Di bawahnya, Baron hidup sebagai kampung nelayan yang ramah menyambut siapa pun yang datang. Pantainya menawarkan suasana bersahaja, cocok untuk liburan keluarga tanpa hiruk-pikuk berlebihan. Di antara laut dan daratan, sebuah sungai mengalir tenang menuju muara, membawa air jernih yang kontras dengan debur Samudra Hindia.(mc)

Mercusuar Baron dibangun pada 2014, menggantikan menara besi tua yang telah uzur. Ia berdiri di atas bukit karang sisi timur Pantai Baron, Desa Kemadang, Gunungkidul. Dari kejauhan, ia tampak seperti penjaga sunyi yang tidak pernah berpindah shift. Cahaya suarnya menjangkau belasan mil laut, memastikan kapal-kapal tetap berada di jalur yang semestinya. Sementara bagi wisatawan, ia menawarkan sesuatu yang tak tercantum di brosur: jarak.

Dari puncak menara, laut terlihat utuh. Garis pantai Gunungkidul membentang seperti kalimat panjang tanpa tanda titik. Di timur tampak Pantai Kukup, di barat hamparan Baron Techno Park. Ombak Samudra Hindia bergulung tanpa tergesa, seolah tidak peduli pada jadwal libur nasional.

Di ketinggian ini, manusia terasa kecil. Angin bertiup kencang, memaksa siapa pun untuk memegang pagar besi lebih erat—bukan hanya demi keseimbangan tubuh, tapi juga kesadaran diri. Banyak pengunjung terdiam lebih lama dari yang direncanakan. Ada yang sibuk memotret, ada yang hanya berdiri, membiarkan pikiran mereka dibawa angin.

Sungai kecil itu menjadi ruang jeda: tempat anak-anak bermain air dengan aman, sementara orang dewasa menemukan kembali makna liburan—bukan sekadar bersenang-senang, melainkan belajar memperlambat langkah, menyatu dengan alam, dan membiarkan lelah luruh perlahan.(mc)

Mercusuar ini sering disebut spot terbaik untuk menikmati matahari terbit dan tenggelam. Namun sebenarnya, ia lebih dari sekadar latar foto. Ia mengajarkan satu hal sederhana: melihat dari atas tidak selalu tentang merasa lebih tinggi, tapi tentang memahami luasnya dunia di luar diri sendiri.

Di kaki bukit, warung-warung kecil tetap setia. Menjual teh hangat, mi instan, dan cerita singkat antarpenjaja. Aktivitas berlangsung seperti biasa, kontras dengan kesunyian yang menggantung di atas mercusuar. Dua dunia ini berdampingan—ramai dan hening—dipisahkan hanya oleh puluhan anak tangga besi.

Mercusuar Baron tidak meminta untuk dikagumi. Ia hanya berdiri, memancarkan cahaya, dan menunggu. Barangkali itulah pelajaran paling penting dari bangunan ini: dalam dunia yang bising dan tergesa, selalu ada ruang untuk berjaga dengan tenang.

Dan ketika turun kembali, suara ombak terdengar lebih dekat. Bukan karena laut berubah, melainkan karena kita yang telah belajar mendengar. (Hib)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments