LESINDO.COM – Pagi di kaki Penanggungan selalu punya cara sendiri untuk menyambut pejalan. Udara terasa lebih ringan, embun masih menggantung di pucuk daun, dan jalan desa Kedungudi perlahan dipenuhi langkah-langkah kecil para pendaki yang datang dengan ransel sederhana dan mata penuh harap. Di sinilah perjalanan menuju Puncak Sarah Klopo bermula—sebuah bukit yang belakangan kerap disebut sebagai “Merbabu-nya Penanggungan”, bukan tanpa alasan.
Julukan itu lahir dari hamparan padang rumput hijau yang menyambut di bagian atas. Bukit ini memang tidak setinggi gunung-gunung besar di Jawa Timur, hanya berada di kisaran 1.235–1.245 mdpl, namun justru di situlah daya tariknya. Sarah Klopo adalah anak Penanggungan yang ramah, tidak mengintimidasi, dan terasa bersahabat, terutama bagi mereka yang baru belajar membaca bahasa alam lewat pendakian.
Secara geografis, Puncak Sarah Klopo berada di sisi barat daya Puncak Pawitra—nama lain Gunung Penanggungan yang sarat makna sejarah. Lokasinya masuk wilayah Desa Kedungudi, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, sebuah desa yang tenang dan perlahan berubah menjadi gerbang pendakian. Basecamp Kedungudi buka 24 jam, seolah memberi isyarat bahwa alam tak pernah benar-benar tidur.
Langkah awal pendakian via Kedungudi terasa seperti berjalan menembus lorong waktu. Jalur ini menjadi favorit bukan hanya karena relatif landai dan bisa ditempuh sekitar 2 hingga 2,5 jam dengan langkah santai, tetapi juga karena ia menyuguhkan jejak peradaban lama. Di sepanjang jalur, pendaki akan berpapasan dengan situs-situs candi peninggalan era Majapahit: Candi Carik, Candi Lurah, Candi Siwa, hingga Candi Guru. Batu-batu tua itu berdiri diam, seakan menjadi saksi bisu ribuan langkah manusia dari masa ke masa—dari para resi, peziarah, hingga pendaki modern yang datang membawa kamera dan botol minum.
Sesekali jalur terbuka, memperlihatkan lereng hijau yang bergulung pelan. Di titik-titik tertentu, warung kecil muncul seperti oase—biasanya di sekitar Pos 2 atau Pos 3—menjual kopi panas, mi instan, dan gorengan yang rasanya selalu terasa lebih nikmat di ketinggian. Meski begitu, para pendaki yang bijak tetap membawa perbekalan air sendiri, sebab alam tak selalu bisa ditebak.

Ketika tiba di puncak, semua lelah seolah menemukan jawabannya. Padang rumput Sarah Klopo terbentang luas, hijau dan lapang, mengingatkan pada savana Merbabu yang sering muncul di linimasa media sosial. Dari sini, pandangan lepas mengarah ke tubuh Gunung Penanggungan yang megah, Gunung Bekel yang tenang, hingga siluet Arjuno–Welirang yang berdiri anggun di kejauhan. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput dan tanah basah—sebuah jeda yang terasa pantas untuk direnungkan.
Sarah Klopo memang ramah bagi pemula. Jalurnya jelas, papan penanda cukup informatif, dan kemiringannya tidak membuat lutut bernegosiasi terlalu keras. Namun keramahan alam tetap menuntut kesiapan. Di musim kemarau, debu bisa mengepul di setiap langkah, membuat masker sederhana menjadi penyelamat. Sebaliknya, musim hujan menghadirkan hijau yang lebih pekat, tetapi juga jalur licin yang menuntut kehati-hatian ekstra.
Soal biaya, pendakian ke Sarah Klopo tergolong terjangkau. Simaksi Rp15.000 per orang, parkir motor sekitar Rp10.000. Angka-angka itu terasa kecil jika dibandingkan dengan pengalaman yang dibawa pulang: pertemuan dengan sejarah, lanskap yang menenangkan, dan kesadaran bahwa tidak semua keindahan harus diraih dengan pendakian berat.
Di Sarah Klopo, pendakian bukan soal menaklukkan. Ia lebih menyerupai kunjungan—bertamu ke alam yang membuka pintunya dengan ramah. Sebuah bukit yang mengajarkan bahwa ketinggian bukan selalu tentang angka, melainkan tentang bagaimana kita berhenti sejenak, memandang jauh, dan merasa cukup. (Cha)

