spot_img
BerandaBudayaMenyepi di Punggung Gunung: Jejak Sunyi Para Raja dan Orang-Orang Linuwih

Menyepi di Punggung Gunung: Jejak Sunyi Para Raja dan Orang-Orang Linuwih

Gunung-gunung di Jawa seperti Lawu, Merapi, Merbabu, Sumbing, hingga Slamet menjadi saksi bisu jejak para orang linuwih, residen spiritual, dan ulama sufi yang mencari pencerahan. Mereka menempuh jalan yang sunyi, namun meninggalkan cahaya yang tidak pernah padam.

LESINDO.COM – Di punggung-punggung gunung, di sela kabut yang turun perlahan, sering tersisa jejak orang-orang yang pernah menempuh jalan sunyi. Di sanalah kisah lama bersemayam — kisah para raja yang meninggalkan istana, para pertapa yang meninggalkan dunia, dan para ulama yang mencari makna sejati kehidupan. Orang-orang yang telah mencapai kedalaman batin selalu memilih jalan keheningan. Di tengah riuh rendah dunia yang penuh ambisi, mereka melangkah menjauh, mencari ruang di mana hati bisa berbicara tanpa gangguan suara lain. Gunung, hutan, dan tempat-tempat tinggi menjadi pilihan, bukan karena indahnya pemandangan semata, melainkan karena di sanalah jiwa bisa mendengar dirinya sendiri.

Bagi mereka, menyepi bukan berarti lari dari dunia, melainkan mendekati sumber kehidupan itu sendiri. Di balik hening yang panjang, mereka menemukan percakapan yang paling dalam — percakapan antara jiwa dengan Sang Pencipta.

Gunung: Simbol Kedekatan dengan Langit

Dalam pandangan spiritual, gunung bukan sekadar bentang alam, tetapi simbol dari perjalanan manusia menuju Yang Maha Tinggi. Semakin tinggi seseorang mendaki, semakin sedikit beban yang bisa dibawa. Di puncak, hanya ada napas, doa, dan kesadaran akan betapa kecilnya manusia di hadapan kebesaran Tuhan.

Maka tak heran jika banyak tokoh besar memilih gunung sebagai tempat menyepi. Raja Brawijaya dari Majapahit dipercaya meninggalkan istana dan menuju lereng Gunung Lawu untuk mengakhiri masa hidupnya dalam tapa brata — bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai bentuk penyerahan total.
Di Imogiri, makam para raja Mataram juga dibangun di atas perbukitan tinggi. Sebuah simbol perjalanan jiwa yang meninggalkan dunia menuju keabadian, dari istana yang megah menuju kesunyian yang abadi.

Gunung-gunung di Jawa seperti Lawu, Merapi, Merbabu, Sumbing, hingga Slamet menjadi saksi bisu jejak para orang linuwih, residen spiritual, dan ulama sufi yang mencari pencerahan. Mereka menempuh jalan yang sunyi, namun meninggalkan cahaya yang tidak pernah padam.

Keheningan yang Mengajarkan Kesadaran

Kompleks pemakaman raja-raja Jawa di Imogiri, Yogyakarta. Tangga batu yang panjang dan menanjak tampak menjadi jalan utama menuju area makam. Di puncak tangga berdiri gerbang paduraksa khas arsitektur Jawa-Hindu, terbuat dari bata merah dan batu andesit, yang menjadi pintu menuju area suci. (mac)

Di puncak gunung, suara dunia perlahan hilang. Yang tersisa hanya desir angin, aroma tanah, dan gema batin. Di sanalah manusia benar-benar menyadari hakikat dirinya — betapa fana, betapa kecil, dan betapa dekat ia sebenarnya dengan Sang Pencipta.

Keheningan bukan kekosongan. Ia adalah ruang penuh makna di mana manusia bisa belajar tentang tawadhu’, pasrah, dan syukur. Alam menjadi kitab terbuka, setiap kabut yang turun adalah ayat, setiap hembusan angin adalah zikir, dan setiap puncak adalah mihrab bagi jiwa-jiwa yang rindu pada Tuhannya.

Jejak yang Tak Pernah Hilang

Kini, ketika kita mendaki gunung atau melintasi lereng-lereng sunyi, sesekali masih terasa getar itu — getar yang tak terlihat, tapi menggetarkan. Seolah alam masih menyimpan napas para pejalan sunyi yang dulu datang untuk mencari Tuhan di balik kabut.

Gunung-gunung itu tetap berdiri, menjadi saksi bagi perjalanan panjang manusia dalam mencari makna hidup. Mereka yang datang dengan hati bersih mungkin masih bisa merasakan kehadiran yang tak kasat mata: kehadiran kedamaian, ketenangan, dan kesadaran bahwa semua yang tinggi hanyalah jalan untuk kembali pulang.

Menyepi di punggung gunung bukan sekadar mencari ketenangan, melainkan menemukan kembali hakikat keberadaan. Di tempat tinggi itu, manusia belajar bahwa puncak tertinggi kehidupan bukanlah kejayaan di dunia, tetapi ketenangan ketika jiwa sudah mampu berdamai dengan Tuhan.

Gunung-gunung di Jawa bukan sekadar bentang alam — mereka adalah cermin spiritual bangsa, tempat di mana sejarah, doa, dan kesunyian menyatu dalam satu bahasa: bahasa keabadian. (Hib)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments