spot_img
BerandaHumanioraMenunggu di Pelataran Nabawi: Rindu di Gerbang Makam Rasulullah

Menunggu di Pelataran Nabawi: Rindu di Gerbang Makam Rasulullah

LESINDO.COM — Di bawah naungan payung-payung raksasa yang mengembang seperti bunga raksasa di pelataran Masjid Nabawi, ribuan jamaah dari penjuru dunia duduk bersila dengan kesabaran yang tak bertepi. Ada yang berzikir pelan, jemarinya bergerak di atas tasbih. Ada yang menunduk dalam, seakan bicara dengan hatinya sendiri. Ada pula yang memandang jauh ke arah gerbang makam Rasulullah SAW—di antara rindu, haru, dan getir yang tak pernah berhenti mengalir.

Serban putih, kopiah hitam, syal kuning, gamis dari berbagai budaya—semuanya menjadi saksi bahwa rindu kepada Rasul tidak pernah mengenal sekat bangsa, warna kulit, atau bahasa. Di hadapan makam manusia paling mulia itu, semua hati menjadi sama: penuh cinta, penuh harap, penuh getar yang tak terucapkan.

Madinah selalu menyuguhkan kedamaian yang sulit diungkapkan kata. Mungkin karena di balik dinding masjid berdiri tiga makam yang agung — Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Atau mungkin karena di Raudhah, yang disebut taman surga, tak henti-hentinya doa dipanjatkan. Di tempat itulah, setiap hati berharap—bisa mendekat, bisa menyampaikan salam, bisa mencurahkan rindu yang selama ini hanya tersimpan dalam sujud.

Meski matahari berada di puncaknya—terik, menyengat, dan membuat udara panas bergetar—para jamaah tetap duduk tenang, sebagian bersandar, sebagian berzikir, sebagian lainnya menunduk dalam diam yang penuh makna. (mac)

Di kompleks Raudhah, banyak yang mencoba bertahan lebih lama. Entah karena ingin menikmati kedekatan batin yang jarang dirasakan, atau karena rasa rindu yang tak pernah selesai—meski tak pernah bersua langsung. Nama Rasul selalu disebut dalam sholat, dalam shalawat, dalam doa. Maka getaran rindu itu seakan hanya menunggu ruang untuk mekar.

Hari itu, matahari Madinah tepat di atas kepala. Jam menunjukkan lewat tengah hari. Panas terasa menembus kulit, tapi angin kipas besar yang menyemburkan embun dingin membuat suasana tetap teduh. Di tengah antrian panjang, seorang teman berbisik pelan, “Semoga pas masuk nanti kita dapat waktu sholat Ashar.” Dan benar—alhamdulillah. Rombongan kami diperkenankan masuk saat waktu Ashar tiba. Ada rasa syukur yang sulit dijelaskan, saat kaki berpijak di Raudhah, dan sholat terasa begitu dekat dengan langit.

Kini, ziarah ke makam Rasulullah tidak lagi seperti dulu. Arus jamaah kini diatur ketat dan berjadwal. Kelompok demi kelompok dipanggil, diminta berbaris, mengikuti arahan petugas. Setiap langkah terasa seperti meniti jembatan antara rindu dan kesadaran diri. Tak ada dorong-mendorong, tak ada hiruk pikuk. Yang ada hanya detak jantung yang semakin cepat, seiring pintu pembatas mulai terbuka.

Menunggu giliran bukan hal mudah. Ada yang menunggu berjam-jam. Ada yang baru duduk, tapi langsung hanyut dalam suasana. Namun justru dalam menunggu itulah tersimpan pelajaran—bahwa mendekat kepada Rasul bukan hanya perkara jarak, tapi juga keikhlasan. Rindu yang bersabar. Doa yang menunggu waktu terbaiknya.

Wajah-wajah lelah itu bukan tanda menyerah, melainkan keteguhan hati yang sedang dilatih oleh rindu.(mac)

Ketika akhirnya pintu terbuka, rombongan mulai bergerak pelan. Setiap langkah seperti catatan perjalanan batin: “Aku datang membawa rindu, membawa doa, membawa cinta yang tak pernah selesai.”
Dan ketika sampai di hadapan makam Nabi, waktu seakan berhenti. Suara menjadi sayup. Mata banyak yang basah. Bibir bergetar, namun kata-kata terasa terlalu kecil.

Tak perlu doa panjang—hanya salam paling tulus:

“Assalamu’alaika ya Rasulullah…”
“Semoga kami menjadi umat yang engkau banggakan.”

Waktu di dalam tak lama—hanya beberapa menit. Namun bagi banyak orang, detik itulah anugerah terbesar dalam hidup. Sejenak dekat dengan Rasul, sejenak merasa disentuh oleh kasih sayang yang tak terputus sejak 14 abad lalu.

Di luar, masih ada jutaan jamaah lain menunggu. Dari berbagai negeri, dengan bahasa yang berbeda, namun membawa rindu yang sama. Begitulah setiap hari. Rindu bertemu rindu. Doa bertemu doa. Karena cinta kepada Rasulullah tidak pernah padam.
Ia hanya menunggu giliran untuk mendekat—meski jauh dari kampung halaman, meski harus menanti lama, di bawah langit Madinah yang selalu dipenuhi rahmat.(mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments