Oleh Lembah Manah
Bagi sebagian orang, Lumajang hanyalah kota kecil di lereng gunung Semeru. Tetapi bagiku—seorang jurnalis muda yang masih belajar membaca arah hidup pada 1999—kota itu adalah gerbang menuju sebuah kenangan yang tak pernah selesai: tentang seorang sahabat yang kalah melawan leukemia.
Aku masih ingat tahun 1998: reformasi baru bersemi, jalan-jalan kota terasa gelisah, dan langkah seorang pemula sepertiku lebih banyak digerakkan oleh keberanian spontan ketimbang rencana. Belum sempat menulis selembar surat lamaran, seorang kawan menepuk bahuku, mengajakku bergabung menjadi reporter lapangan. Begitu saja aku masuk dunia jurnalistik—tanpa seleksi, tanpa seremoni, hanya berbekal nekat dan rasa ingin tahu.
Setahun kemudian, aku berkantor di kawasan Menanggal, Surabaya, tak jauh dari Masjid Agung Surabaya. Aku selalu mendapat tugas paling berat karena masih dianggap “anak bontot” redaksi. Dan setiap rapat, jawaban yang paling sering keluar dari mulutku hanyalah: “Siap, laksanakan.”
Aku pikir saat itu, menjadi jurnalis hanya soal mengejar berita dan dead line. Aku belum tahu bahwa suatu hari, sebuah surat tugas bisa membuka pintu yang telah lama kututup rapat.
Tugas yang Mengaduk Luka Lama
Suatu siang, redaksi memberiku surat jalan: Lumajang — lalu Probolinggo — hingga Paiton. Begitu membaca nama kota pertama, jantungku serasa digenggam dari dalam. Lumajang bukan sekadar kota; di sana tertinggal bagian hidup yang tak sempat kuperbaiki.
Rini.
Sahabatku. Putri seorang veteran operasi Seroja. Perempuan sederhana yang pernah meminta satu hal kecil dariku—mengantarnya pulang ketika sakit. Permintaan ringan, namun justru menjadi batu kecil yang terus kugenggam selama bertahun-tahun.
Rumahnya di pelosok Tempeh menyambutku hangat sore itu. Keluarganya baik, terlalu baik. Ada pandangan-pandang canggung yang membuatku curiga: apakah aku sedang dikenalkan sebagai calon?
Rini hanya tersenyum, “Aku cuma butuh teman pulang. Itu saja.”
Lalu hidup berjalan seperti biasa. Kami berjarak namun tetap dekat dalam rasa saling memahami yang sunyi.
Tubuh yang Mengering, Harapan yang Menggigil
Beberapa bulan setelah aku kembali ke rutinitas kuliah, kabar itu datang pelan: Rini sakit keras. Divonis leukemia. Sebuah penyakit yang meluruhkan tubuh seseorang seakan sedang menghapus satu per satu rencana hidupnya.
Aku menjenguk untuk kedua kalinya ke Lumajang. Langkahku seperti diseret memasuki kamarnya.
Rini yang dahulu ceria kini terbaring nyaris tinggal kulit dan tulang. Kulit wajahnya pucat. Selang makanan masuk dari sudut bibirnya; ayahnya menyuapkan blender-an makanan dengan hati-hati, seakan takut merusak sesuatu yang tinggal setipis kertas.
Aku duduk di tepi ranjang. Kami tak banyak bicara. Dalam hening itu, hanya matanya yang berbicara—mata yang ingin kuat tetapi sesekali menyerah.
Tiga jam aku di sana, dan sepanjang tiga jam itu aku merasakan waktu bergerak lambat, seperti sengaja memberi ruang bagi seseorang yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi.
Pertemuan yang Tak Pernah Terjadi
Ketika Rini wafat, aku tak sempat datang ke pemakamannya. Ada alasan pekerjaan, perjalanan, dan keadaan yang tidak memungkinkan—namun alasan-alasan itu, pada akhirnya, hanya menjadi penyesalan yang membatu.
Sejak saat itu, ia sering hadir dalam mimpiku. Bukan memanggil, bukan menegur. Hanya berdiri dalam diam. Menatap. Seperti seseorang yang menunggu sesuatu yang tertunda.
Dan aku terbangun setiap kali dengan dada yang terasa sesak.
Tahun-tahun berlalu dan aku berpikir barangkali mimpi itu tidak akan pernah pergi.
Pusara yang Akhirnya Kutemui
Hingga suatu hari, redaksi mengirimku tugas liputan ke Lumajang. Kali ini aku tahu: perjalanan itu bukan kebetulan.
Rumah keluarga Rini masih sama, sederhana dan penuh angin. Lantainya tanah, dindingnya anyaman bambu. Namun bersih dan terawat seolah waktu sengaja menjaga tempat itu tetap seperti dulu—agar aku bisa mengingat semuanya dengan jelas.
Mereka masih mengenaliku. Bahkan aku tidur lagi di kamar yang dulu pernah kutempati—kamar yang seperti menyimpan gema perpisahan yang belum selesai.
Pagi berikutnya, ayahnya mengajakku ke pusara Rini. Kami berjalan tanpa banyak bicara. Angin pagi membawa aroma tanah basah. Saat sampai, aku melihat gundukan merah sederhana, tanpa nisan mewah, tanpa hiasan yang berlebihan.
Aku berdiri lama. Lalu menunduk.
Untuk pertama kalinya, doa yang selama bertahun-tahun tertahan akhirnya bisa kusebutkan.
Ada sesuatu yang lepas hari itu. Seperti pintu yang lama terkatup akhirnya terbuka perlahan, lalu menutup kembali dengan lembut—tanpa meninggalkan bunyi.
Dan sejak hari itu, Rini tak pernah lagi datang dalam mimpi.
Jalan Sunyi Seorang Reporter
Sepulang dari Lumajang, aku melanjutkan tugas ke Probolinggo seperti biasa. Namun langkahku terasa berbeda: lebih ringan, seperti ada beban yang akhirnya kuletakkan di tempat yang seharusnya.
Bertahun-tahun kemudian barulah aku mengerti: menjadi jurnalis bukan hanya soal menulis berita. Ada perjalanan batin yang tidak pernah masuk ke halaman koran—perjalanan yang menuntunku membuka luka lama, memohon maaf, merelakan, lalu menutupnya dengan perlahan.
Rini mungkin telah lama pergi, tetapi ia meninggalkan pelajaran penting: bahwa persahabatan bisa hidup jauh lebih lama dari tubuh manusia, dan bahwa beberapa doa memang baru menemukan alamatnya setelah bertahun-tahun terlambat.
Dan setiap kali perjalanan tugasku membawaku ke kota-kota jauh, aku selalu percaya: di suatu tempat, ada seseorang yang diam-diam menunggu doa kita tiba di pusaranya.

