LESINDO.COM – Waktu pemberangkatan selalu menjadi detik-detik penuh debar. Di ruang tunggu bandara, rasa sabar diuji oleh antrean panjang, pemeriksaan dokumen, dan suara petugas imigrasi yang memanggil satu per satu. Namun di balik itu semua, ada secercah harapan: sebentar lagi, tanah suci menanti.
Di antara kerumunan jamaah, ada seorang perempuan berusia sekitar 40–45 tahun. Wajahnya teduh, mengenakan kerudung sederhana, dan tampak sedikit kebingungan mencari colokan listrik untuk mengisi daya ponselnya. Kebetulan, di kursiku masih tersisa satu colokan. “Silakan, Bu, di sini masih ada,” kataku. Ia tersenyum, mengucapkan terima kasih lirih—sebuah percakapan kecil yang cukup mengikat kami dalam suasana keberangkatan yang penuh harap.
Kami satu rombongan. Tapi seperti kebanyakan perjalanan ibadah, kedekatan itu lebih banyak tercipta dari kebersamaan fisik ketimbang percakapan panjang. Hanya sebatas sapaan, bertukar senyum, dan rasa saling menjaga sebagai sesama tamu Allah.
Pesawat mendarat di Madinah Bandara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdulaziz dan seperti biasa kita terpecah oleh urusan masing-masing: koper, kamar hotel, jadwal ziarah, dan ritme ibadah yang seringkali menyita seluruh perhatian. Sejak itu, aku tak lagi bertemu beliau.
Hingga perjalanan pulang.

Di Bandara Internasional Raja Abdulaziz, Jeddah, berembus kabar: ada salah satu jamaah perempuan yang mengalami masalah. Kondisinya tidak stabil. Entah apa yang menimpanya. Ada cerita ia kehilangan dompet, ada pula yang menyebut ia berkata-kata tidak wajar, seperti lepas kendali. Tak ada yang tahu pasti. Dan aku memilih diam, menahan diri dari rasa ingin tahu yang berlebihan. Sebab di tanah suci, segala sesuatu bisa menjadi ujian—entah fisik, batin, atau keikhlasan.
Namun kabar itu makin jelas saat kami tiba di Soekarno-Hatta. Beliau berlari-lari, seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, pandangannya kosong. Seolah ia pulang dalam keadaan tidak utuh—bukan raganya, tetapi batinnya yang terguncang. Untunglah ada satu teman sekampung yang sigap menjaganya.
Subhanallah… siapa yang tahu perjalanan batin seseorang?
Perjalanan haji dan umrah bukan sekadar menjejak tanah Madinah dan Makkah. Ini perjalanan menata niat. Membersihkan hati. Menundukkan ego. Di sana, setiap ucapan dan tindakan bukan hanya catatan di dunia—ia menggemakan nilai di hadapan Allah.
Tak ada yang tahu apa yang dipanggulnya:
Mungkin beban hidup yang berat.
Mungkin ada luka yang tak sembuh.
Atau mungkin hatinya tak benar-benar lepas dari perkara dunia sebelum berangkat.
Kita hanya bisa mendoakan:

“Ya Allah, ampuni dia. Lapangkan hatinya. Jaga akalnya, lindungi imannya. Jika ada kesalahan, maka Engkau Maha Pemaaf. Jadikan perjalanannya tetap bernilai ibadah, meski ia pulang dalam kondisi yang rapuh.”
Karena sesungguhnya, ke Tanah Suci bukan soal kuat fisik atau lengkapnya bekal. Tapi tentang niat yang benar-benar tulus. Tentang kerendahan hati untuk menyadari bahwa di hadapan Ka’bah, kita semua sama:
—hamba yang mengharap rahmat, bukan sekadar predikat “pernah berhaji.”
Dan perjalanan ini mengajarkan:
Menjaga ucapan dan tindakan bukan hanya di Makkah dan Madinah.
Tapi seumur hidup, sejak berangkat—hingga benar-benar pulang.(mac)

