spot_img
BerandaBudayaMenjaga Api di Tengah Senyap: Cerita dari Gedung Wayang Orang Sriwedari

Menjaga Api di Tengah Senyap: Cerita dari Gedung Wayang Orang Sriwedari

Meski kini gedungnya sederhana dan bangkunya tak lagi penuh, auranya tetap magis. Setiap gerak tangan, setiap lenggok tari, setiap dialog berbahasa Jawa alus membawa penonton masuk ke dunia mitologi di mana kebaikan, kesetiaan, dan keberanian diuji dalam peperangan batin manusia.

LESINDO.COM – Langit Solo baru saja berubah jingga ketika suara gamelan mulai terdengar dari arah Gedung Wayang Orang Sriwedari. Di balik tirai merah yang sudah berumur lebih dari satu abad, para penari tengah bersiap. Rias wajah mereka berkilat di bawah cahaya lampu tua, sementara aroma kemenyan lembut mengiringi bunyi saron dan kendang yang berpadu. Bagi mereka, malam bukan sekadar waktu untuk tampil. Ini adalah upacara penghormatan terhadap leluhur seni Jawa  ritual yang sudah berlangsung sejak 1911 dan tak pernah benar-benar padam.

Gedung Wayang Orang Sriwedari adalah panggung wayang orang tertua di Indonesia yang masih aktif. Didirikan pada masa Sri Susuhunan Pakubuwono X yang menduduki tahta tahun 1893 hingga 1939 selama 46 tahun. Gedung ini sejak awal menjadi wadah bagi seniman keraton untuk mempersembahkan kisah Mahabharata dan Ramayana kepada masyarakat umum. Meski kini gedungnya sederhana dan bangkunya tak lagi penuh, auranya tetap magis. Setiap gerak tangan, setiap lenggok tari, setiap dialog berbahasa Jawa alus membawa penonton masuk ke dunia mitologi di mana kebaikan, kesetiaan, dan keberanian diuji dalam peperangan batin manusia.

“Kami sadar zaman berubah. Tapi panggung ini rumah kami. Selama gamelan masih berbunyi, kami akan tetap menari,” ujar Sulastri, salah satu penari veteran yang sudah tampil sejak era 1990-an.

Gamelan dan Gairah yang Tak Lekang

Adegan dramatis dengan tokoh pusat dalam aksi emosional. (rep)

Begitu tirai terbuka, tokoh Gatotkaca muncul gagah dengan sayapnya, sementara Arjuna melangkah anggun di sisi panggung. Alunan gamelan dari kelompok karawitan mengalun lembut, berpadu dengan suara sinden yang mendayu.
Setiap adegan penuh makna simbolis bukan sekadar hiburan, tapi juga pendidikan moral tentang kesetiaan, pengabdian, dan cinta tanah air. Di antara pemain muda, tampak semangat baru. Mereka datang dari sekolah seni dan komunitas lokal yang ingin menjaga warisan budaya ini tetap hidup. Latihan dilakukan setiap sore, dengan disiplin tinggi layaknya pasukan perang dalam kisah Mahabharata itu sendiri.

Melawan Sepi, Menjaga Tradisi

Dulu, ratusan penonton memenuhi gedung setiap malam. Kini, hanya puluhan. Namun bagi para seniman Sriwedari, jumlah bukan ukuran.
Setiap malam pertunjukan, mereka berjuang melawan sepi, percaya bahwa seni ini masih punya tempat di hati masyarakat. “Kami ingin generasi muda datang, menonton, dan merasakan magisnya wayang orang,” ujar Wiwik, sinden muda yang kini turut berlatih di Sriwedari. Pemerintah Kota Surakarta pun memberi dukungan dengan program revitalisasi dan promosi digital, agar Wayang Orang Sriwedari bisa lebih dikenal oleh wisatawan dan pelajar.

Lebih dari Sekadar Pertunjukan

Wayang Orang Sriwedari adalah jiwa dari kota Solo. Ia bukan hanya pertunjukan teater, tetapi cermin nilai luhur masyarakat Jawa keseimbangan, kesetiaan, dan kebijaksanaan.
Malam-malam di Sriwedari adalah pengingat bahwa seni tradisi tidak akan mati selama masih ada orang yang percaya pada kekuatannya. Dan ketika tirai ditutup, tepuk tangan kecil dari penonton terdengar seperti janji:
bahwa di balik modernitas yang terus berlari, Sriwedari akan selalu menjadi rumah bagi roh seni Jawa yang abadi. (Yan)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments