Selamat Ulang Tahun PGRI ke 80 dan Hari Guru Nasional
LESINDO.COM – Di sebuah halaman sekolah sederhana yang berlapis cat hijau—warna yang menenangkan seperti pekarangan pedesaan Jawa—sepasang guru tampak mengayuh sepeda ontel bersama. Keduanya mengenakan seragam PGRI yang akrab dengan motif hitam-putih, seolah menjadi penanda kesetiaan pada profesi yang jarang benar-benar selesai meski bel pulang sudah lama berbunyi. Di belakang, sang rekan membawa kue kecil dengan angka sederhana, melambangkan pertambahan usia sekaligus harapan yang ikut mengiringi setiap tahun baru yang mereka jalani sebagai pendidik.
Hari Guru Nasional sudah lewat, namun gema perayaannya tak pernah benar-benar padam. Sebab bagi para guru, ulang tahun bukan sekadar pertambahan angka. Ia adalah penanda perjalanan—tentang sejauh mana mereka bergerak menghadapi zaman yang berubah, murid yang kian multikarakter, serta dinamika pendidikan yang serasa berputar lebih cepat dari roda sepeda itu sendiri.
Menjadi guru hari ini bukan perkara mengajar di depan kelas semata. Mereka berhadapan dengan generasi yang tumbuh dalam riuh layar gawai, dunia digital yang kadang terasa lebih nyata daripada dunia di sekeliling mereka. Guru dituntut untuk melek teknologi, menguasai aplikasi, mengolah informasi, sekaligus menjaga nilai-nilai kemanusiaan agar tidak tergerus derasnya arus zaman.
Di sisi lain, murid datang dengan dunia kecilnya masing-masing: yang ceria, yang pendiam, yang penuh tanya, yang menyimpan beban rumah, yang mencari perhatian, serta yang membutuhkan lebih banyak waktu untuk memahami sesuatu. Semua bertemu di ruang kelas yang sama, berharap guru bisa memetakan jalan bagi setiap dari mereka.
Di titik inilah guru kerap dianggap “segalanya”—pelurus akhlak, penumbuh kecerdasan, bahkan penyembuh luka batin murid yang tak tampak oleh orang tua. Beban itu tak pernah tertulis dalam kontrak kerja, tapi diam-diam menetap dalam hati setiap pendidik.
Foto dua guru yang berkendara dengan sepeda ontel itu seperti metafora perjalanan profesi mereka: sederhana, penuh tawa, namun membutuhkan keseimbangan. Ada kerja sama, ada saling dukung, dan ada kue ulang tahun kecil yang mengingatkan bahwa setiap usia bertambah membawa tanggung jawab baru.
Tantangannya jelas: bagaimana tetap menjadi guru yang relevan, bijaksana, dan tulus, di tengah dunia pendidikan yang semakin multidimensi?
Namun, sebagaimana sepeda tua yang tetap melaju selama dikayuh, profesi guru pun akan selalu menemukan jalannya. Selama masih ada anak-anak yang butuh dituntun, selama masih ada masa depan yang perlu diluruskan arah jarumnya, guru akan tetap menjadi suluh kecil yang menerangi perjalanan.
Di Hari Guru—dan di hari-hari setelahnya—para pendidik tak menuntut banyak. Cukup melihat muridnya tumbuh, berkembang, dan menemukan jalannya sendiri. Itulah hadiah ulang tahun terbesar bagi mereka, jauh melebihi angka lilin yang menyala di atas kue kecil itu. (mac)

