spot_img
BerandaBudayaMengatur Negeri Tanpa Membersihkan Kepala

Mengatur Negeri Tanpa Membersihkan Kepala

Orang Jawa mengenal ajaran eling lan waspada—sadar dan berjaga. Sadar bahwa pikiran adalah sumber tindakan, waspada agar tidak dikuasai nafsu merasa paling benar. Tanpa itu, pikiran menjadi ladang subur bagi ambisi yang tak mau disebut namanya, tetapi rajin menyamar sebagai kepentingan umum.

Oleh R. Wening Jati  

Di negeri ini, hidup kerap terasa ruwet bukan karena kurang aturan, melainkan karena terlalu banyak pikiran yang tidak pernah dibereskan. Kepala kita penuh, bukan oleh pengetahuan, tetapi oleh prasangka. Pikiran menjadi seperti laci birokrasi: berlapis, bertumpuk, dan sering kali tak jelas isinya apa. Namun anehnya, kita tetap yakin semua sudah tertata.

Pikiran yang kotor—dalam arti penuh syak wasangka, dendam, dan rasa paling benar—melahirkan realitas yang juga keruh. Dari sanalah lahir kebijakan yang bertele-tele, keputusan yang gemar menunda, dan solusi yang lebih sibuk mengamankan citra ketimbang menyelesaikan perkara. Masalah kecil pun bisa menjelma besar, karena dipikirkan dengan kepala yang sudah lebih dulu kusut.

Dalam falsafah Jawa, hidup yang becik iku urip kang rapi. Rapi bukan berarti mewah, melainkan tahu menempatkan sesuatu pada porsinya. Sayangnya, banyak dari kita—termasuk mereka yang duduk di kursi empuk pengambil keputusan—lebih rajin menata pidato ketimbang menata batin. Kata-kata diatur sedemikian rupa agar terdengar bijak, sementara pikirannya masih penuh kepentingan yang disamarkan.

Satirnya, kita gemar berbicara tentang ketertiban, tetapi pikiran kita sendiri paling gaduh. Kita menyerukan stabilitas, namun kepala sibuk menghitung untung-rugi pribadi. Kita memuja harmoni, tetapi mencurigai siapa pun yang berbeda pandangan. Dalam keadaan seperti itu, ketenangan hanya menjadi slogan, bukan laku.

Pikiran yang bersih dan teratur seharusnya melahirkan keputusan yang sederhana dan tepat. Namun di sini, kesederhanaan sering dicurigai sebagai ancaman. Segala sesuatu harus dibuat berlapis, karena dari kerumitan itulah kuasa menemukan tempat bersembunyi. Masalah yang sebenarnya bisa selesai hari ini, sengaja diulur agar tampak penting esok hari.

Orang Jawa mengenal ajaran eling lan waspada—sadar dan berjaga. Sadar bahwa pikiran adalah sumber tindakan, waspada agar tidak dikuasai nafsu merasa paling benar. Tanpa itu, pikiran menjadi ladang subur bagi ambisi yang tak mau disebut namanya, tetapi rajin menyamar sebagai kepentingan umum.

Maka jangan heran jika hidup terasa melelahkan. Bukan karena rakyat terlalu menuntut, atau dunia terlalu keras, melainkan karena terlalu banyak pikiran yang tak pernah dibersihkan sebelum dijadikan kebijakan. Kepala yang keruh akan selalu melahirkan keputusan yang membuat hidup semakin ruwet, lalu meminta kita bersabar atas kekacauan yang diciptakannya sendiri.

Barangkali yang kita perlukan bukan tambahan aturan atau slogan baru, melainkan keberanian untuk ngresiki pikiran—membersihkan kepala sebelum mengatur orang lain. Sebab dalam hidup, sebagaimana dalam kepemimpinan, ketenangan bukan lahir dari kekuasaan yang besar, tetapi dari pikiran yang selesai dengan dirinya sendiri.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments