spot_img
BerandaJelajahMengapa Solo Terus Disebut Kota Layak Huni

Mengapa Solo Terus Disebut Kota Layak Huni

Biaya hidup yang relatif rendah membuat warga tidak hidup dalam tekanan berlebihan. Kuliner murah tersedia dari gang sempit hingga pusat kota. Pasar tradisional masih hidup berdampingan dengan pusat perbelanjaan modern. Di banyak sudut, ruang publik tidak hanya dibangun, tetapi juga digunakan—taman kota, jalur pejalan kaki, hingga car free day yang menjadi ruang temu lintas kelas sosial.

Solo: Kota Kecil yang Sedang Menyiapkan Masa Depan

LESINDO.COM – Setiap tahun, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) merilis indeks kota layak huni—sebuah barometer sunyi tentang di mana hidup bisa dijalani dengan lebih manusiawi. Di antara deretan kota yang dinilai, satu nama kerap muncul di puncak: Solo. Kota ini tidak menawarkan gemerlap metropolitan, tetapi justru menghadirkan hal yang kian langka di perkotaan Indonesia—biaya hidup yang masuk akal, tata kota yang tertib, transportasi publik yang fungsional, serta budaya yang hidup berdampingan dengan keseharian warganya.

Pagi di Solo selalu dimulai dengan langkah yang tidak tergesa. Di halte Batik Solo Trans, para penumpang duduk rapi—pelajar, pedagang, pegawai kantor—menunggu bus datang tanpa suara klakson yang saling sahut. Di kota ini, waktu seperti diberi ruang untuk bernapas. Tidak melaju kencang, tapi juga tidak tertinggal.

Di tengah gempuran urbanisasi dan kota-kota besar yang kian sesak, Solo justru bergerak dengan cara yang berbeda: pelan, terukur, dan manusiawi.

Kota yang Memilih Mendengar Warganya

Solo bukan kota megapolitan. Ia tidak menjanjikan gedung pencakar langit atau hiruk-pikuk ekonomi digital yang berkilau. Namun justru di situlah kekuatannya. Kota ini tumbuh dengan kesadaran bahwa layak huni bukan soal besar atau kecil, melainkan soal rasa cukup.

Biaya hidup yang relatif rendah membuat warga tidak hidup dalam tekanan berlebihan. Kuliner murah tersedia dari gang sempit hingga pusat kota. Pasar tradisional masih hidup berdampingan dengan pusat perbelanjaan modern. Di banyak sudut, ruang publik tidak hanya dibangun, tetapi juga digunakan—taman kota, jalur pejalan kaki, hingga car free day yang menjadi ruang temu lintas kelas sosial.

Solo mengajarkan bahwa kota bukan sekadar mesin ekonomi, melainkan ruang hidup bersama.

Transportasi dan Ruang Sosial

Biaya hidup yang relatif murah, penataan kota yang rapi, kental dengan budaya, dan keramahtamahan warganya. Transportasi publiknya (seperti Batik Solo Trans) juga dinilai cukup baik untuk kota berukuran sedang. (mc)

Batik Solo Trans menjadi simbol perubahan yang senyap. Bukan sistem transportasi paling canggih di Indonesia, tetapi cukup fungsional untuk ukuran kota sedang. Jalurnya menjangkau kawasan pendidikan, pusat perdagangan, hingga permukiman. Ia memperpendek jarak, bukan hanya secara fisik, tetapi juga sosial.

Di kota layak huni, transportasi bukan hanya soal berpindah tempat, melainkan soal hak bergerak bagi semua orang—termasuk mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi.

Trotoar di Solo mulai diperlakukan sebagai ruang warga, bukan sisa jalan. Pejalan kaki, pesepeda, dan pedagang kecil perlahan menemukan tempatnya kembali.

Budaya sebagai Fondasi, Bukan Ornamen

Berbeda dengan kota lain yang menjadikan budaya sekadar etalase pariwisata, Solo menempatkan kebudayaan sebagai fondasi kehidupan sehari-hari. Keraton, kampung batik, gamelan, dan tradisi lisan bukan benda mati. Ia hadir dalam ritme hidup warganya.

Inilah modal sosial yang kerap dilupakan dalam perencanaan kota masa depan: rasa memiliki. Kota yang layak huni bukan hanya menyediakan fasilitas, tetapi juga menumbuhkan ikatan emosional antara manusia dan ruangnya.

Ketika warga merasa memiliki kota, mereka cenderung merawatnya.

Tantangan Masa Depan

Tentu Solo tidak tanpa masalah. Cuaca panas, keterbatasan lapangan kerja formal, dan ancaman urban sprawl tetap menghantui. Generasi muda juga dihadapkan pada dilema: bertahan dengan kenyamanan atau pergi demi peluang yang lebih besar.

Namun justru di titik inilah masa depan kota diuji. Apakah Solo mampu menciptakan ekonomi yang inklusif tanpa kehilangan jiwanya? Mampukah ia tumbuh tanpa menjadi bising?

Kota yang Tidak Berlomba, Tapi Bertahan

Di masa depan, kota layak huni tidak lagi diukur dari kecepatan, melainkan dari ketahanan. Dari kemampuannya menjaga lingkungan, merawat warganya, dan menyediakan hidup yang masuk akal.

Solo mungkin tidak sedang berlomba menjadi kota paling modern. Tetapi ia sedang berusaha menjadi kota yang paling bisa ditinggali.

Dan barangkali, di dunia yang semakin tergesa, kota seperti inilah yang kelak paling dicari.
Di antara kota-kota yang sibuk mengejar masa depan, Solo memilih menata hari ini—pelan, bersahaja, dan cukup. Sebab masa depan, pada akhirnya, adalah soal bagaimana manusia ingin hidup.(Osy)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments