spot_img
BerandaHumanioraMenemukan Makna di Ujung Jarum

Menemukan Makna di Ujung Jarum

Satu kata itu seperti menyentil sisi logika saya. Ketagihan? Ditusuk jarum besar dan kehilangan setengah liter darah, kok bisa ketagihan? Tapi cara ia mengucapkannya begitu yakin, seolah ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa nyeri.

oleh redaksi kesehatan & kemanusiaan

“Ketagihan.”
Satu kata itu meluncur ringan dari bibir seorang perempuan muda yang tengah menunggu giliran donor darah di kantor Palang Merah Indonesia, tepat di seberang Rumah Sakit Dr. Muwardi, Solo.
Suaranya tenang, tapi mengandung makna yang membuat siapa pun yang mendengarnya berhenti sejenak untuk berpikir. Bagaimana mungkin, sebuah aktivitas yang melibatkan jarum besar, darah, dan rasa nyeri — justru bisa menimbulkan ketagihan?

Awalnya, saya datang ke PMI bukan sebagai pendonor.
Kondisinya darurat. Seorang saudara terkena demam berdarah dan membutuhkan tambahan darah dengan segera. Karena rasa panik bercampur kepedulian, saya memutuskan untuk mencoba donor darah untuk pertama kalinya.

Namun, harapan itu pupus seketika ketika petugas memeriksa data dan menggeleng pelan. Berat badan saya tidak memenuhi syarat. Terlalu ringan. Terlalu kurus untuk menjadi penyumbang kehidupan.

Padahal, keberanian saya sudah dikumpulkan susah payah. Sejak kecil, saya memang punya ketakutan luar biasa terhadap jarum suntik.
Ingatan masa kecil itu masih jelas — ketika saya sakit panas dan dibawa ke puskesmas. Begitu melihat dokter mengeluarkan jarum suntik, spontan saya berbalik dan lari keluar ruangan. Tapi dokter lebih cepat. Ia ikut berlari, mengejar, dan akhirnya berhasil “menancapkan” jarum itu di pantat saya.
Sejak saat itu, setiap kali diberi pilihan antara suntik atau obat, tanpa pikir panjang saya akan menjawab: “Obat!”

Proses pengambilan darah saat kegiatan donor darah berlangsung. Terlihat tangan seorang pendonor yang sedang ditusuk jarum suntik steril, terhubung dengan selang menuju kantong darah. Petugas medis mengenakan sarung tangan biru dan pakaian pelindung berwarna kuning, dengan hati-hati memastikan jarum menempel dengan benar pada pembuluh darah. (mac)

Namun hari itu, di ruang tunggu donor darah, rasa takut itu sedikit tergeser oleh rasa penasaran. Saya menoleh pada seorang perempuan muda di sebelah saya. Dengan nada ragu, saya bertanya pelan,

“Apa enaknya donor darah?”

Ia menatap saya sebentar, tersenyum kecil, lalu menjawab dengan satu kata yang mengejutkan:

“Ketagihan.”

Satu kata itu seperti menyentil sisi logika saya. Ketagihan? Ditusuk jarum besar dan kehilangan setengah liter darah, kok bisa ketagihan? Tapi cara ia mengucapkannya begitu yakin, seolah ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa nyeri.

Sejak saat itu, saya mulai mencari tahu. Membaca, bertanya, bahkan menonton kisah para pendonor. Dari sana saya tahu — donor darah bukan sekadar memberi, tapi juga menyehatkan. Tubuh jadi terasa ringan, sirkulasi darah lebih lancar, bahkan kondisi kesehatan bisa selalu terpantau karena setiap kali donor ada pemeriksaan rutin.

Saya pun akhirnya mencoba lagi.
Kali ini berhasil.
Dan benar — ada rasa aneh yang sulit dijelaskan. Antara lega, tenang, dan bahagia. Seperti menunaikan kewajiban kecil terhadap sesama tanpa harus bicara banyak.

Sejak itu, saya mulai rutin mendonorkan darah. Tidak selalu setiap tiga bulan, karena waktu sering tak memungkinkan. Tapi setiap kali ada kesempatan, saya datang. Rasa takut terhadap jarum suntik masih ada, tapi kini rasa itu berubah menjadi bagian kecil dari keberanian yang lebih besar.

Kini saya tahu apa yang dimaksud perempuan muda itu.
“Ketagihan” bukan karena rasa sakit atau sensasi jarum, tapi karena perasaan yang lahir sesudahnya — rasa lega karena bisa membantu orang lain, rasa hangat karena tahu sebagian diri kita mungkin sedang berdenyut di tubuh seseorang yang tengah berjuang melawan sakit.

Donor darah membuat saya belajar satu hal penting: memberi tidak selalu harus banyak, tapi harus dari hati.
Dan kadang, sesuatu yang dulu kita takuti justru bisa menjadi kebiasaan yang menenangkan — bahkan, menyehatkan.

Mungkin, benar kata perempuan muda itu.
Donor darah memang bisa bikin ketagihan. Tapi bukan ketagihan rasa sakit — melainkan ketagihan untuk merasa berarti.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments