spot_img
BerandaBudayaMenelusuri Serat Centhini: Ensiklopedia Jiwa dan Budaya Jawa

Menelusuri Serat Centhini: Ensiklopedia Jiwa dan Budaya Jawa

Keunikan Serat Centhini terletak pada kelengkapannya. Dalam setiap pupuh (bagian), naskah ini memuat deskripsi rinci tentang kehidupan masyarakat abad ke-18: Adat istiadat dan ritual keagamaan, Filosofi dan ajaran moral, Seni musik dan tembang Jawa, Arsitektur, kuliner, dan cara bercocok tanam. Hingga kisah percintaan dan nilai erotika simbolik, yang menggambarkan kesatuan antara jasmani dan rohani.

LESINDO.COM – Di ruang penyimpanan naskah kuno Museum Radya Pustaka Surakarta, tersimpan sebuah manuskrip tebal beraksara Jawa halus, berlembar-lembar, dengan tinta yang telah memudar. Namanya Serat Centhini — karya sastra agung yang kerap disebut sebagai “ensiklopedia kehidupan orang Jawa.” Lembaran-lembaran tua itu bukan sekadar catatan, melainkan kisah panjang tentang manusia, alam, dan makna hidup.

Lahir dari Sebuah Pencarian Spiritual

Serat Centhini lahir pada awal abad ke-19, tepatnya antara tahun 1814 hingga 1823. Karya ini digagas oleh Kanjeng Gusti Adipati Anom Amangkunegara III, yang kelak naik tahta menjadi Sunan Pakubuwono V di Surakarta Hadiningrat. Ia menugaskan tiga pujangga keraton ternama untuk menuliskannya: Ki Ngabehi Ranggasutrasna, Ki Ngabehi Yasadipura II dan Ki Ngabehi Sastradipura.

Ketiganya menulis berdasarkan arahan sang Adipati Anom, yang kala itu ingin mengabadikan seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa dalam bentuk karya sastra. Maka tersusunlah naskah setebal 12 jilid dengan 726 tembang (lagu puisi Jawa) — karya yang begitu luas cakupannya, nyaris tak tertandingi dalam sejarah sastra Nusantara.

Kisah Seh Amongraga: Pencarian Makna Hidup

Secara garis besar, Serat Centhini berkisah tentang Seh Amongraga, putra dari Sunan Giri, yang mengembara ke berbagai penjuru Tanah Jawa untuk mencari ilmu dan makna sejati kehidupan. Dalam pengembaraannya, ia ditemani oleh istrinya, Tambangraras, dan sahabatnya, Ganda Kusuma.

Perjalanan Seh Amongraga bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual. Ia bertemu dengan beragam guru, masyarakat, dan tempat yang menggambarkan seluruh lapisan kebudayaan Jawa: dari desa hingga keraton, dari kaum santri hingga para pelaku kejawen.

Lewat kisahnya, pembaca diajak memahami nilai-nilai filsafat Jawa — keseimbangan antara agama, ilmu, dan rasa. Bukan sekadar petualangan mistik, Serat Centhini adalah tafsir mendalam tentang spiritualitas manusia Jawa. “Centhini bukan hanya cerita, tapi cermin batin orang Jawa — yang percaya bahwa ilmu, cinta, dan kehidupan adalah satu kesatuan yang suci,” ungkap Marni salah satu kurator Museum Radya Pustaka.

Ensiklopedia Budaya Jawa


Buku koleksi yang masih tersusun rapi di rak buku lemari tua dan banyak orang yang mencari referensi manuskrip tua untuk penelitian. (mac)

Keunikan Serat Centhini terletak pada kelengkapannya. Dalam setiap pupuh (bagian), naskah ini memuat deskripsi rinci tentang kehidupan masyarakat abad ke-18: Adat istiadat dan ritual keagamaan, Filosofi dan ajaran moral, Seni musik dan tembang Jawa, Arsitektur, kuliner, dan cara bercocok tanam. Hingga kisah percintaan dan nilai erotika simbolik, yang menggambarkan kesatuan antara jasmani dan rohani.

Itulah sebabnya, banyak peneliti menyebut Serat Centhini sebagai “Ensiklopedia Budaya Jawa”. Ia menulis hampir segala hal yang dikenal masyarakat kala itu, dengan bahasa tembang yang indah dan penuh simbol.

Dari Lembaran Kuno ke Warisan Dunia Digital

Kini, salah satu salinan Serat Centhini disimpan di Museum Radya Pustaka Surakarta, dalam kondisi terawat namun mulai rapuh dimakan usia. Beberapa bagian naskah telah dialihmedia menjadi versi digital agar bisa diakses peneliti dan mahasiswa.

Museum juga berupaya menerjemahkan isi naskah ke dalam bahasa Indonesia modern, mengingat sebagian besar masyarakat kini tak lagi mampu membaca aksara Jawa klasik. “Kami berharap anak muda mengenal Serat Centhini bukan hanya sebagai karya kuno, tapi sebagai cermin jati diri bangsa,” kata petugas dokumentasi museum.

Jejak Kehidupan yang Tak Pernah Usang

Membaca Serat Centhini berarti menyelami kehalusan budi dan kebijaksanaan orang Jawa. Ia bukan sekadar teks, tapi peta nilai-nilai hidup: tentang kesetiaan, kejujuran, cinta, pengetahuan, dan keseimbangan antara dunia lahir dan batin.

Dalam tiap bait tembang, terselip pesan agar manusia tidak kehilangan akar dan arah. Itulah sebabnya, Serat Centhini bukan hanya karya sastra — melainkan “kitab kehidupan”, yang menjembatani masa lalu dan masa kini. Dan di balik lemari kayu tua Museum Radya Pustaka, manuskrip itu terus menunggu untuk dibaca ulang — agar suara masa lalu kembali bergaung di telinga generasi sekarang. (mac)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments