Dari Tenun Hingga Rumah Tradisional, Desa Sade Suguhkan Kekayaan Warisan Budaya
LESINDO.COM-Di tengah hamparan perbukitan Lombok Tengah, berdiri sebuah desa yang seakan membekukan waktu Desa Adat Sade, Rambitan. Begitu melangkah masuk, suasana modern seketika berganti dengan nuansa tradisi. Deretan rumah-rumah beratap ijuk dan berdinding anyaman bambu berdiri kokoh, dipijakkan di tanah yang lantainya dipel lantaran campuran tanah liat dan kotoran kerbau cara lama yang dipercaya membuat lantai tetap hangat dan bebas serangga. Masyarakat Desa Sade masih menjaga warisan Suku Sasak dengan penuh kesetiaan. Para perempuan menenun kain songket berwarna-warni di beranda rumah, jemari mereka lincah memainkan benang, sementara anak-anak berlarian di antara lorong sempit desa sambil tertawa riang. “Kalau tidak bisa menenun, belum boleh menikah,” begitu salah satu pepatah Sasak yang masih dijaga di sini.
Selain menenun, wisatawan juga bisa menyaksikan kesenian tradisional, mulai dari tarian hingga prosesi adat. Suasana semakin magis saat matahari mulai condong ke barat, menyinari atap-atap rumah hingga berkilau keemasan. Berjalan di Desa Sade bukan hanya wisata, melainkan perjalanan menyelami kearifan lokal Lombok. Setiap sudutnya bercerita tentang kehidupan sederhana yang berpadu erat dengan alam dan tradisi.
Legenda Asal Usul Desa Sade, Rambitan

Selama berabad-abad lalu, wilayah Lombok bagian selatan masih berupa hutan lebat dan bukit gersang. Di antara belantara itu, hidup sekelompok kecil masyarakat Sasak yang mencari tempat untuk bermukim. Konon, pemimpin rombongan itu bernama Amaq Sade, seorang tokoh bijak yang selalu mengajarkan kesederhanaan dan persatuan. Ia berkata kepada pengikutnya: “Kita harus hidup selaras dengan alam, sederhana tapi kokoh, seperti tanah tempat kita berpijak.”
Mereka kemudian membuka lahan di perbukitan Rambitan, membangun rumah dari bambu, ijuk, dan tanah liat. Lantainya dipadatkan dengan campuran tanah liat dan kotoran kerbau, tradisi yang dipercaya membuat rumah hangat dan bersih. Karena dipimpin Amaq Sade, sekaligus menggambarkan kehidupan yang bersahaja, maka permukiman itu dikenal sebagai Desa Sade. Desa Adat Sade terletak di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Desa ini dihuni oleh masyarakat Suku Sasak yang hingga kini masih mempertahankan tradisi dan gaya hidup leluhur mereka.
Nama Sade diyakini berasal dari bahasa Sasak yang berarti “bersahaja” atau “sederhana”. Hal ini sesuai dengan kehidupan masyarakatnya yang masih berpegang pada adat dan kesederhanaan, meskipun dunia di luar desa terus berkembang modern. Menurut cerita turun-temurun, Desa Sade sudah ada lebih dari 600 tahun lalu. Awalnya, tempat ini dipilih karena letaknya di daerah perbukitan yang strategis dan dekat dengan sumber air. Rumah-rumah tradisional dibangun dari bahan alam—bambu, kayu, ijuk, dan tanah liat—dengan filosofi menyatu dengan alam.
Desa Sade sejak lama menjadi pusat adat Suku Sasak, terutama dalam hal ritual keagamaan, perkawinan adat, serta tradisi menenun. Salah satu kearifan unik adalah lantai rumah yang dipel dengan campuran tanah liat dan kotoran kerbau—sebuah tradisi leluhur yang dipercaya bisa menguatkan lantai, menjaga kehangatan, dan menolak serangga. Meski Lombok kini berkembang pesat sebagai destinasi wisata dunia, Desa Sade tetap mempertahankan jati diri. Perempuan masih menenun sendiri kain songket sebagai syarat kedewasaan, rumah adat tetap dibangun dengan arsitektur lama, dan berbagai upacara adat tetap dijalankan. Orang tua desa juga mewariskan petuah, perempuan Sasak harus bisa menenun sebelum menikah, agar selalu ingat pada kerja keras dan kemandirian. Dari situlah lahir tradisi menenun kain songket yang masih hidup hingga kini. (mac)