spot_img
BerandaBudayaMenari di Ujung Embun Lawu Utara

Menari di Ujung Embun Lawu Utara

“Tidak banyak yang mau datang ke tempat seperti ini,” ucapnya sambil tersenyum. “Tapi anak-anak di sini punya semangat luar biasa. Mereka tidak punya banyak, tapi mereka punya kemauan.”

LESINDO.COM – Kabut tipis menggantung di udara pagi lereng utara Gunung Lawu. Udara dingin menembus kulit, namun di sebuah bangunan sederhana di Kecamatan Jenawi Kabupaten Karangnyar, suara gamelan kecil terdengar lirih dari pengeras suara tua. Di ruangan berlantai semen yang sedikit lembap itu, beberapa anak berbaris rapi, menirukan gerakan tangan seorang perempuan yang dengan sabar membimbing mereka menari. Dialah Sang Penari — sosok yang memilih mengabdikan waktu dan cintanya untuk seni, jauh dari gemerlap panggung kota.

“Tidak banyak yang mau datang ke tempat seperti ini,” ucapnya sambil tersenyum. “Tapi anak-anak di sini punya semangat luar biasa. Mereka tidak punya banyak, tapi mereka punya kemauan.”

Tarian dari Hati, Bukan dari Sorotan Lampu

Nama perempuan itu adalah Sulastri, warga asli Menjing yang sejak muda menekuni dunia tari tradisional. Ia belajar dari sang maestro di Karanganyar sebelum memutuskan kembali ke desanya sepuluh tahun lalu. Di tangan dinginnya, anak-anak desa mulai mengenal gerak Gambyong, Srimpi, hingga Tari Merak.

Sanggar yang ia dirikan bukan bangunan megah — hanya ruangan bekas balai dusun dengan dinding cat mengelupas. Lantai semen polos menjadi panggung bagi kaki-kaki mungil yang menari tanpa alas. Namun setiap gerakan mengandung keindahan dan ketulusan yang tak bisa diukur dengan gemerlap lampu pertunjukan. “Kalau di kota, anak-anak punya kostum bagus dan panggung besar,” katanya sambil menata selendang.
“Di sini cukup kain batik seadanya, tapi semangatnya tak kalah.”

Menari Melawan Lupa

Suasana latihan tari di daerah lereng Lawu utara, di mana seni tari masih dijaga melalui generasi muda. Sang pelatih terlihat sabar membimbing murid-muridnya, mengajarkan detail gerakan tangan yang menjadi ciri khas tari tradisional Jawa. (mac)

Bagi Ibu Sulastri, menari bukan sekadar gerak tubuh — tetapi cara menjaga warisan budaya agar tak punah. Ia khawatir anak-anak sekarang lebih mengenal tarian modern dari media sosial ketimbang tari tradisi.
Karena itu, setiap sore usai sekolah, ia membuka pintu sanggar bagi siapa pun yang mau belajar. Tak ada biaya, tak ada syarat — hanya kemauan.

Anak-anak datang dengan pakaian sekolah, mengganti sepatu dengan kaki telanjang. Mereka menari di bawah bayang lampu neon redup, diiringi irama gamelan dari ponsel kecil yang tersambung ke speaker bekas.
Di sela-sela latihan, tawa mereka pecah, menggema di antara dinding tua sanggar. “Menari membuat mereka percaya diri,” ujar Sulastri. “Kalau dulu mereka malu bicara di depan orang, sekarang berani tampil di acara desa.”

Seni yang Tumbuh dari Kesederhanaan

Di sanggar kecil itu, tidak ada papan nama, tidak ada sponsor, hanya niat tulus dan ketekunan. Sesekali, mereka tampil di acara sedekah bumi atau festival antar-desa, mengenakan kostum yang dijahit sendiri.
Para orang tua ikut membantu — ada yang meminjamkan kain, ada yang memasak nasi bungkus untuk anak-anak usai latihan. “Kami bangga lihat anak-anak tampil,” kata Pak Darmo, salah satu warga. “Dingin-dingin begini, tapi mereka tetap semangat latihan. Itu luar biasa.”

Pelita dari Lereng Lawu

Sulastri tak pernah berharap terkenal. Ia hanya ingin anak-anak di desanya mencintai budaya mereka sendiri. Baginya, menari bukan hanya seni — tapi bentuk doa, rasa syukur, dan pengikat antara generasi lama dan baru. “Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?” katanya pelan. “Biar sederhana, asal budaya ini tetap hidup.”

Dan di bawah kabut tipis lereng Lawu, langkah-langkah kecil anak-anak itu terus menari.
Mereka bukan sekadar belajar gerakan — mereka sedang menapaki jejak warisan yang mungkin suatu hari akan mereka lanjutkan. (mac)

 

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments