spot_img
BerandaBudayaMenari di Antara Masa Depan dan Leluhur: Kisah Penari Bali di GWK

Menari di Antara Masa Depan dan Leluhur: Kisah Penari Bali di GWK

Namun, di balik gemerlap panggung budaya, kehidupan seorang penari Bali tidak selalu mudah. Persaingan makin ketat, dan dunia modern menawarkan kenyamanan yang berbeda. Banyak temannya memilih bekerja di sektor pariwisata atau industri kreatif lain yang lebih menjanjikan secara ekonomi.

LESINDO.COM – Langit sore di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali, mulai berubah warna. Nada kendang dan suara ceng-ceng terdengar bersahutan, mengiringi langkah-langkah anggun para penari yang bersiap di balik panggung. Di antara mereka, seorang perempuan muda tampak khusyuk merapikan selendang dan memejamkan mata sejenak. Namanya Ayu Lestari, penari asal Gianyar yang telah menari sejak usia tujuh tahun.

Baginya, menari bukan sekadar profesi. “Setiap gerak adalah doa, setiap tatapan adalah persembahan,” ujarnya sebelum naik panggung, dengan suara tenang yang seolah membawa hawa dupa dan dedaunan canang sari.

Seorang penari tradisional Bali yang sedang bersiap diri sebelum menampilkan tarian. Ia mengenakan busana adat berwarna kuning keemasan dengan hiasan kepala megah berukir detail dan berkilau, melambangkan keanggunan sekaligus kekuatan karakter. (mac)

Tarian yang ia bawakan malam itu adalah Tari Legong, salah satu tarian klasik Bali yang sarat simbol spiritual. Gerakannya lembut, namun penuh makna — melambangkan harmoni antara manusia dan alam. Di tengah sorot lampu dan pandangan wisatawan, Ayu berusaha tetap menghadirkan jiwa tarian sebagaimana dulu diajarkan ibunya, seorang penari yang kini sudah jarang tampil.

Namun, di balik gemerlap panggung budaya, kehidupan seorang penari Bali tidak selalu mudah. Persaingan makin ketat, dan dunia modern menawarkan kenyamanan yang berbeda. Banyak temannya memilih bekerja di sektor pariwisata atau industri kreatif lain yang lebih menjanjikan secara ekonomi.

“Saya juga pernah ragu,” kata Ayu, menatap ke arah patung raksasa Dewa Wisnu yang menjulang di kejauhan. “Tapi kalau semua penari berhenti, siapa yang akan menjaga warisan ini?”

Pertunjukan di GWK malam itu menjadi simbol kecil dari perlawanan sunyi para seniman tradisi — mereka yang terus menari di tengah arus zaman. Bagi Ayu, panggung bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi ruang spiritual di mana ia merasa dekat dengan leluhur. Setiap langkah kakinya diiringi keyakinan bahwa menari adalah cara menjaga ingatan, menyalakan api kebudayaan yang tak boleh padam.

“Menari membuat saya merasa masih menjadi bagian dari Bali yang sesungguhnya,” ujarnya sambil tersenyum. “Bukan hanya Bali untuk turis, tapi Bali yang hidup dari doa dan budaya.”

Ketika tirai pertunjukan menutup dan sorak penonton reda, Ayu menatap langit malam di atas GWK. Di sana, antara bintang dan suara gamelan yang perlahan menghilang, ia menyimpan harapan — agar tarian yang diwariskan para leluhur tetap menemukan tempat di hati generasi masa depan. (mac)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments