spot_img
BerandaHumanioraMenaklukkan Puncak Usia, Mendaki Gunung dalam Napas Kehidupan

Menaklukkan Puncak Usia, Mendaki Gunung dalam Napas Kehidupan

LESINDO.COM – Di usia yang tak lagi muda, langkah seorang pendaki tua itu tampak tertatih menapaki jalur terjal. Nafasnya terengah, dadanya naik turun menahan beratnya oksigen yang makin menipis di udara dingin pegunungan. Namun di balik tubuh renta yang mulai rapuh, semangat itu masih menyala—semangat untuk menaklukkan gunung, bukan sekadar puncaknya, tapi juga dirinya sendiri.

“Entah mengapa baru di usia seperti ini aku diberi kesempatan mendaki,” katanya lirih, seolah berbicara dengan langit. “Padahal sejak muda, aku sudah jatuh cinta pada alam ciptaan Tuhan.”

Langkahnya pelan, tapi pasti. Di setiap pijakan tanah yang lembab, ia seperti sedang menapaki lembar demi lembar perjalanan hidupnya sendiri. Setiap tanjakan adalah ujian, setiap turunan adalah jeda untuk merenung. Alam, baginya, bukan sekadar pemandangan indah, melainkan ruang refleksi yang mengajarkan banyak hal: kesabaran, ketabahan, dan makna perjuangan.

Angin berembus lembut menyambut, langit membentang luas memandang gunung lain dari puncak yang telah dicapai adalah momen kontemplatif yang sarat makna. (mac)

Pendakian memang bukan perkara ringan. Ia tahu, sebelum berangkat harus ada persiapan, perbekalan, dan pengorbanan. Tidak cukup hanya niat dan semangat. Di pertengahan jalan, saat tenaga mulai menipis dan napas seperti tak lagi berpihak, muncul pertanyaan yang sama seperti dalam hidup: apakah akan berhenti atau terus berjalan?

Berhenti berarti menyerah. Perjalanan berhenti di situ saja, tanpa pernah tahu seperti apa indahnya puncak yang dijanjikan. Tapi jika terus berjalan, meski pelan dan terbata, ada harapan yang tak pernah padam: bahwa setiap langkah, sekecil apapun, akan membawanya lebih dekat pada tujuan.

Di titik tertentu, rasa lelah itu memang begitu dalam. Tubuh ingin rebah, mata ingin terpejam, dan hati seolah ingin menyerah. Tapi waktu tak bisa menunggu. Maka ia memilih untuk berdiri, beristirahat secukupnya, lalu melangkah lagi.
“Bergerak adalah pilihan satu-satunya,” katanya, sambil menatap jauh ke arah kabut yang perlahan menyingkap puncak gunung.

Dan benar saja, di puncak itu semua lelah terbayar lunas. Langit begitu biru, udara begitu jernih, dan hati seakan bersih dari segala beban. Di sanalah ia mengerti: naik gunung ternyata seperti menjalani kehidupan. Ada lelah dan napas tersengal, ada jatuh dan bangkit, tapi pada akhirnya yang bertahanlah yang akan melihat keindahan tertinggi—keindahan ciptaan Tuhan, yang hanya bisa diraih oleh mereka yang tak berhenti melangkah.

Bagi pendaki tua itu, mendaki bukan lagi tentang menaklukkan alam, melainkan menaklukkan diri sendiri. Ia sadar, usia boleh menua, tapi semangat harus tetap muda. Karena sebagaimana hidup, gunung pun mengajarkan satu hal pasti: bahwa puncak selalu menunggu mereka yang berani berjalan, meski pelan. (cha)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments