Oleh : Yai Kampung
Di banyak sudut kampung Jawa, kesabaran itu masih diperlakukan seperti benda pusaka: disimpan rapi di dalam lemari, tapi jarang sekali dipakai. Orang-orang tahu nilainya, sering mengutipnya, bahkan menasihati tetangga dengan dalil “ngempet nesu iku separo saka kawicaksanan”—menahan marah itu separuh dari kebijaksanaan. Namun ketika giliran dirinya tersenggol masalah sepele, separuh kebijaksanaan itu seakan-akan kabur lewat celah jendela.
Padahal, bersabar dalam menahan amarah itu ibarat menghentikan batu yang sudah terlanjur dilempar. Bedanya, batu fisik masih bisa dicari, diukur, lalu dijadikan barang bukti. Sementara batu amarah—yang meluncur lewat kata-kata pedas atau status WhatsApp—tidak bisa ditarik kembali. Ia melayang bebas, mencari kepala siapa saja untuk benjol.
Di zaman ketika jari lebih cepat daripada otak, amarah sering kali menjadi komoditas murah. Sedikit saja terpeleset, seseorang bisa berubah menjadi komentator paling berbusa, merasa paling benar, dan menuding siapa pun yang dianggap salah arah. Padahal, kalau mau jujur, yang sering salah arah adalah kompas moral diri sendiri.
Kesabaran, yang dulu dianggap sifat luhur, kini malah dipandingkan sebagai tanda “ngalah”, bahkan kadang dianggap kelemahan. Padahal yang benar justru sebaliknya: hanya orang kuat yang mampu berhenti sebelum meledak. Orang yang tampak keras, berteriak paling lantang, belum tentu gagah—kadang hanya tidak punya ruang kosong untuk mendengar dirinya sendiri.
Mengelola amarah bukan berarti memenjarakan emosi. Bukan pula pura-pura tersenyum seperti tokoh sinetron yang habis diselingkuhi tapi tetap bilang “aku ikhlas”. Mengelola amarah berarti memberi kesempatan kepada akal untuk duduk, menata napas, dan bertanya: Sebetulnya aku sedang melawan siapa? Orang lain, atau diriku sendiri?
Pada akhirnya, kemenangan terbesar bukanlah ketika kita berhasil membungkam lawan debat, apalagi memenangkan adu volume suara. Kemenangan sejati adalah saat kita berhasil menaklukkan diri sendiri—sosok paling keras kepala yang sering tidak kita sadari keberadaannya.
Dan sebagaimana tradisi Jawa mengingatkan, “wong sabar rejekiné jembar”—orang sabar rezekinya lapang. Tapi di balik pepatah itu tersembunyi satir kecil: rezeki lapang bukan selalu soal uang, melainkan tidak perlu membayar ongkos penyesalan. Sebab penyesalan itu datangnya selalu telat, sementara kesabaran bekerja sejak awal tanpa meminta upah.
Ironisnya, kita semua tahu teorinya. Yang tidak kita miliki adalah jurus mempraktikkannya—sebab amarah memang memabukkan, sementara kesabaran butuh latihan panjang. Tapi jika kita sudah paham bahwa satu detik menahan diri bisa menyelamatkan banyak hal, mungkin lemari pusaka itu perlu dibuka lebih sering. Siapa tahu, kesabaran yang lama kita tinggalkan masih setia menunggu untuk dipakai kembali.

