spot_img
BerandaJelajahjelajahMelintas di Atas Air, Menyapa Bali dari Jalan Tol Mandara

Melintas di Atas Air, Menyapa Bali dari Jalan Tol Mandara

Tol Bali Mandara juga menyimpan cerita tentang waktu. Proyek yang diselesaikan hanya dalam sekitar 14 bulan ini terasa seperti pengecualian di negeri yang sering akrab dengan keterlambatan. Barangkali karena Bali bukan sekadar destinasi, tapi etalase. Segala sesuatu harus tampak siap, rapi, dan berfungsi tepat waktu.

Oleh Urangayu

Saya pertama kali merasakan Bali dari atas laut, bukan dari pantai atau perahu, melainkan dari aspal panjang bernama Tol Bali Mandara. Mobil melaju tenang, sementara di kiri-kanan terbentang air yang memantulkan cahaya matahari sore. Laut tidak bergemuruh, ia hanya hadir—diam, luas, dan sabar—seolah menjadi saksi bahwa perjalanan manusia selalu mencari jalan terpendek untuk sampai, meski harus menantang alam.

Tol ini bukan sekadar penghubung tiga titik penting di Bali Selatan—Nusa Dua, Bandara Internasional Ngurah Rai, dan Pelabuhan Benoa—tetapi juga penghubung antara modernitas dan kearifan ruang. Dibangun di atas laut sepanjang kurang lebih 12,7 kilometer, Bali Mandara terasa seperti garis tipis yang ditarik hati-hati di atas kanvas biru. Ia tidak memamerkan diri, tapi juga tak bisa diabaikan.

Inilah satu-satunya jalan tol di Indonesia yang dibangun di atas hamparan air laut. Di kanan-kiri jalur, mata dimanjakan oleh bentangan samudra; saat air surut, garis-garis daratan muncul samar, seolah mengingatkan bahwa jalan ini berdiri di antara laut dan bumi.(mc)

Yang membuat saya terdiam sejenak adalah keberadaan jalur khusus sepeda motor di sisi kiri dan kanan. Di banyak tempat, pengendara motor kerap menjadi warga kelas dua di jalan raya. Di sini, mereka diberi ruang yang jelas, seolah diingatkan bahwa perjalanan bukan soal besar-kecil kendaraan, melainkan soal keselamatan dan hak yang setara. Namun laut tetaplah laut. Angin bisa berubah menjadi penguasa. Ketika kecepatan angin menyentuh batas tertentu, jalur motor ditutup, bahkan kendaraan roda empat pun bisa diminta menepi. Alam, pada titik ini, masih memegang kata terakhir.

Tol Bali Mandara juga menyimpan cerita tentang waktu. Proyek yang diselesaikan hanya dalam sekitar 14 bulan ini terasa seperti pengecualian di negeri yang sering akrab dengan keterlambatan. Barangkali karena Bali bukan sekadar destinasi, tapi etalase. Segala sesuatu harus tampak siap, rapi, dan berfungsi tepat waktu.

Tol Bali Mandara hadir sebagai pemecah simpul kemacetan Denpasar—terutama pada jam-jam sibuk berangkat dan pulang kerja. Ia bukan hanya jalur cepat, tetapi juga koridor harapan: mengurai penat kota, mempersingkat jarak, dan memberi jeda sejenak bagi siapa pun yang melintas untuk menatap laut, sebelum kembali tenggelam dalam ritme keseharian.(mc)

Saat kartu elektronik ditempelkan di gerbang tol—tanpa uang tunai, tanpa tawar-menawar—saya menyadari betapa perjalanan kini semakin senyap. Tidak ada suara petugas, tidak ada percakapan singkat. Semuanya efisien, cepat, dan dingin. Namun di balik itu, CCTV yang berjaga 24 jam seolah menjadi mata tak terlihat yang memastikan setiap perjalanan tetap dalam koridor aman.

Melintas di Tol Bali Mandara bukan hanya soal memangkas waktu tempuh. Ia adalah pengalaman melihat Bali dari sudut yang jarang dibicarakan: Bali yang modern, terukur, dan teknokratis, namun tetap berdiri di atas laut yang sakral bagi banyak orang. Di bawah aspal yang kokoh itu, air terus bergerak, mengingatkan bahwa apa pun yang dibangun manusia, selalu ada alam yang menopang—dan sewaktu-waktu bisa mengingatkan kita untuk lebih rendah hati.

Ketika mobil keluar dari tol dan kembali menyatu dengan jalan darat Bali yang lebih akrab, saya membawa satu kesan sederhana: perjalanan terbaik bukan selalu yang paling cepat, tetapi yang memberi ruang untuk merenung. Dan Tol Bali Mandara, dengan segala keunikannya, memberi ruang itu—di atas laut, di tengah angin, di antara tujuan-tujuan besar yang saling terhubung.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments