LESINDO.COM – Hujan yang turun sejak pagi tak menyurutkan langkah ratusan warga berpakaian putih. Payung kuning dan merah bergoyang lembut di jalan desa, mengiringi arak-arakan suci yang melangkah perlahan menuju pura. Di tengah kabut dan gemericik air, Bali kembali berbicara lewat bahasanya yang paling tua: doa dan harmoni.
Ratusan umat Hindu di Bali beriringan menyusuri jalan desa dengan busana adat serba putih. Di antara mereka, tampak barong dan umbul-umbul suci menjulang tinggi, sementara di tangan beberapa orang, kendi berisi air dan sesaji bunga dijaga dengan penuh hati-hati. Hujan yang membasahi tanah tidak dianggap gangguan, melainkan berkah yang menambah kesakralan suasana.
Prosesi ini merupakan bagian dari upacara Melasti, ritual penyucian diri dan alam semesta yang dilakukan menjelang Hari Raya Nyepi. Dalam keheningan dan ketertiban arak-arakan itu, tergambar ketaatan masyarakat Bali dalam menjaga keseimbangan hidup—antara manusia, alam, dan Sang Hyang Widhi Wasa.
Busana putih yang dikenakan peserta melambangkan kemurnian pikiran dan niat. Payung-payung warna-warni dan kain poleng hitam-putih yang dikibarkan menjadi simbol keseimbangan dua hal yang bertentangan—baik dan buruk, gelap dan terang—yang harus diterima sebagai satu kesatuan dalam kehidupan.

“Upacara ini bukan sekadar tradisi, tapi cara kami menyucikan batin agar siap memasuki masa sunyi saat Nyepi nanti,” ujar seorang pemangku (pemimpin upacara) dengan nada lembut.
Lebih dari sekadar ritual, Melasti mencerminkan falsafah Tri Hita Karana—tiga penyebab kebahagiaan hidup: harmoni dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan alam sekitar (palemahan). Dalam falsafah ini, manusia bukan penguasa bumi, melainkan bagian dari tatanan semesta yang harus dijaga keseimbangannya.
Ketika arak-arakan sampai di tepi pantai atau pura, doa pun dinaikkan. Ombak, angin, dan hujan seolah turut bersuara. Alam menyatu dalam ritme yang sama: menyucikan, membersihkan, menenangkan.
Bali, sekali lagi, mengajarkan bahwa spiritualitas bukan sesuatu yang jauh di langit. Ia hadir dalam langkah kaki di jalan basah, dalam tetesan hujan yang jatuh ke tanah, dalam kesetiaan manusia menjaga keseimbangan antara dunia yang kasat mata dan yang tak terlihat. (Mde)

