Api Kecil di Ujung Jalan
LESINDO.COM-Di ujung jalan kecil itu, berdiri sebuah warung sederhana yang hanya buka ketika malam tiba. Penerangannya pun tak lebih dari kaleng bekas susu cap bendera yang diisi minyak tanah, sumbunya dari potongan kain lusuh. Api merah menyala, sesekali berdesis, sementara asap hitam menari dan memenuhi ruangan sempit.
Bangunan warung tampak ringkih: tiang-tiangnya dari bambu, dindingnya pun bilah bambu yang disusun rapi. Angin malam bebas keluar masuk, membuat suasana kian dingin dan lengang. Di tempat sunyi itu, sosok Mbok Sri duduk menunggu pembeli. Dipanggil “mbok” meski usianya sudah lanjut—mungkin karena tutur orang kampung yang penuh rasa hormat. Garis-garis halus wajahnya seperti ukiran waktu. Kulitnya kuning bersih, senyumannya lembut. “Pasti kecilnya menggemaskan, mudanya menawan, sebab di usia tuanya pun masih tampak cantik,” batinku.
Malam itu hanya aku seorang yang mampir. Biasanya, paling banyak satu-dua orang. Aku memesan kopi dan ketan, lalu menikmati hangatnya kopi tubruk, ampasnya masih mengendap setengah gelas. Rasa penasaran pun meluncur dalam tanyaku, “Mbok, seumur ini kok masih jualan? Anak-anak mbok kan sudah sukses, rumahnya megah. Kenapa tidak ikut mereka saja, momong cucu?”
Mbok Sri menarik napas panjang. “Nak, aku lebih menikmati hidup seperti ini. Jualan kopi bukan karena uang. Tapi karena aku butuh kesibukan, rutinitas. Bisa melayani, bisa ngobrol dengan orang yang datang, itu hiburan bagiku.” Suaranya lirih, tapi penuh keyakinan.
Aku terdiam. Mungkin itu rahasia mengapa Mbok Sri tetap sehat di usia senja. Ia memilih tidak bergantung pada siapa pun, bahkan pada anak-anaknya. Kesibukan membuat tubuhnya tetap bergerak, pikirannya tetap segar. Hidup baginya bukan sekadar menunggu panggilan pulang, melainkan kesempatan untuk terus bersujud di paruh malam. Sebuah cara sederhana untuk merayakan sisa umur dengan bermartabat.(mac)