LESINDO.COM-Di antara deretan nama pahlawan yang diperingati setiap tahun, tak ada nama Marsinah di sana. Tidak ada potret wajahnya di dinding sekolah, tidak ada barisan karangan bunga di pusaranya. Tapi bagi banyak orang kecil yang mengenal makna perjuangan, Marsinah sudah lebih dari sekadar pahlawan. Ia adalah suara yang tak sempat padam.
Marsinah hanyalah buruh pabrik jam di Porong, Sidoarjo. Tubuhnya mungil, langkahnya sederhana. Tapi di balik sosoknya yang tenang, tersimpan nyali yang melampaui batas. Ia berani berbicara ketika banyak yang memilih diam. Ia menuntut hak, ketika banyak yang takut kehilangan pekerjaan. Ia bersuara, bukan untuk dirinya, tapi untuk kawan-kawannya sesama buruh.
Suatu hari, beberapa teman Marsinah ditangkap setelah aksi menuntut upah layak. Marsinah tidak mundur. Ia justru mendatangi kantor militer, menanyakan nasib mereka. Tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan di tepi sawah—tanpa nyawa, tanpa keadilan.

Kisah Marsinah adalah kisah tentang ketimpangan yang tak pernah selesai. Tentang rakyat kecil yang berbicara dengan keberanian, dan penguasa yang menjawab dengan kepentingan. Dalam sejarah bangsa, suara seperti Marsinah sering hilang di antara berita, terkubur oleh waktu, dan digantikan oleh pesta seremonial yang gemerlap.
Namun ada hal yang tak bisa dihapus oleh waktu: ketulusan perjuangan. Marsinah berjuang tanpa pamrih, tanpa panggung, tanpa kamera. Ia tidak mengenal istilah “publikasi”, “dukungan massa”, atau “tagar solidaritas”. Ia hanya percaya bahwa kebenaran harus diucapkan, meski dengan risiko kehilangan segalanya.
Kini, dunia sudah berubah. Suara kecil bisa menggema lewat layar ponsel, dan keadilan bisa diperjuangkan melalui jaringan maya. Tapi, mungkin justru di era ini, kita perlu kembali menengok ke belakang—belajar dari seorang Marsinah yang melawan tanpa perlindungan, tanpa panggung, tanpa janji.
Karena menjadi pahlawan sejati bukan soal pengakuan, tapi tentang keberanian untuk tetap jujur ketika semua orang memilih diam.
Kalapun Marsinah tidak mendapat anugerah SK dari negara.
Namun dari sejarah—dan dari hati nurani bangsa ini—ia sudah mendapat tempat yang paling mulia. (mac)

