LESINDO.COM – Pada Oktober 2025, tiga kasus bunuh diri remaja mengguncang Indonesia. Di Sukabumi, seorang siswi berusia 14 tahun mengakhiri hidupnya setelah diduga menjadi korban kekerasan verbal dari teman-temannya. Dua kasus serupa terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat.
Tiga peristiwa tragis itu bukan sekadar angka di berita. Mereka adalah alarm keras yang menandakan bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara kita membesarkan, mendidik, dan memperlakukan generasi muda.
Tekanan Hidup yang Kian Berat
Remaja hari ini hidup di dunia yang penuh tekanan. Mereka dituntut untuk berprestasi di sekolah, tampil sempurna di media sosial, dan tetap terlihat bahagia di tengah badai yang tak terlihat.
Media sosial menciptakan standar kebahagiaan yang tidak realistis—tubuh ideal, gaya hidup glamor, pencapaian yang gemerlap. Di balik layar ponsel, mereka membandingkan diri, merasa tertinggal, merasa tidak cukup. Satu komentar negatif atau ejekan daring bisa meninggalkan luka yang lebih dalam daripada yang terlihat.
Tekanan tidak berhenti di sana. Ekspektasi dari keluarga sering kali menambah beban. Banyak remaja tumbuh dalam rumah yang menuntut mereka untuk “harus kuat,” “jangan cengeng,” atau “jangan bikin malu orang tua.”
Akibatnya, mereka belajar untuk menahan tangis, memendam emosi, dan berpura-pura baik-baik saja. Padahal di balik diamnya, ada keputusasaan yang tak pernah tersampaikan.
Kesehatan Mental yang Masih Dianggap Tabu
Masalah kesehatan mental di Indonesia masih sering disepelekan. Depresi atau kecemasan sering disalahartikan sebagai kurang bersyukur atau kurang iman. Padahal, bagi sebagian remaja, tekanan batin itu nyata—dan bisa mematikan jika tidak ditangani.
Minimnya edukasi tentang kesehatan mental membuat banyak keluarga tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika anaknya mulai menarik diri, murung, atau kehilangan semangat. Mereka menganggap itu fase biasa, padahal bisa jadi itu tanda bahaya. Kita sering kali baru peduli setelah tragedi terjadi.
Sekolah Belum Jadi Tempat Aman
Kasus perundungan (bullying) di sekolah masih marak. Ironisnya, sekolah yang seharusnya menjadi ruang tumbuh justru sering berubah menjadi arena kekerasan verbal dan sosial.
Sanksi administratif tidak cukup; dibutuhkan perubahan budaya — dari sekadar menghukum pelaku menjadi membangun empati dan literasi emosional. Guru, konselor, dan teman sebaya harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda krisis mental dan menciptakan lingkungan yang aman untuk berbicara.
Krisis Sunyi: Saat Remaja Tak Lagi Didengar
Di era digital yang serba cepat, banyak remaja merasa terhubung dengan dunia, tapi terputus dari orang-orang terdekatnya. Mereka punya ribuan pengikut di media sosial, tapi tidak punya satu pun orang yang bisa benar-benar mendengarkan.
Krisis terbesar remaja masa kini mungkin bukan sekadar tekanan akademik atau sosial, tapi kesepian yang sunyi.
Saatnya Berhenti Menyalahkan, Mulai Mendengarkan
Fenomena bunuh diri remaja bukan sekadar masalah individu, tapi refleksi dari kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat: kegagalan dalam memahami, mendengar, dan hadir tanpa menghakimi.
Kita perlu berhenti memberi nasihat instan seperti “sabar” atau “jangan dipikirin,” dan mulai membuka ruang dialog yang tulus. Anak muda tidak butuh penghakiman; mereka butuh ruang aman untuk merasa, untuk bicara, dan untuk didengar.
Kementerian dan lembaga pendidikan perlu serius memperkuat layanan konseling sekolah, mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental dalam kurikulum, serta menyiapkan jalur akses cepat bagi siswa yang membutuhkan bantuan.
Sementara itu, keluarga harus menjadi tempat pertama yang aman bagi anak untuk pulang — bukan ruang di mana mereka merasa harus berpura-pura kuat.
Setiap nyawa yang hilang adalah panggilan bagi kita untuk lebih peka.
Karena di balik senyum yang kita abaikan, bisa jadi ada jiwa yang sedang berteriak minta tolong dalam diam. (Sk)

