spot_img
BerandaBudayaMalam di Jimbaran yang Mengajari Aku Bernapas Kembali

Malam di Jimbaran yang Mengajari Aku Bernapas Kembali

Aroma ikan bakar dan bumbu rempah menguar, masuk ke pori-pori udara. Aku menyuap makanan perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku makan tanpa diburu pikiran. Rasanya hangat—bukan semata karena bumbu atau arang, tapi karena aku tahu aku sedang berada di tempat yang membuat hati terasa lebih ringan.

LESINDO.COM – Malam itu, aku duduk di atas pasir Jimbaran dengan perasaan yang sulit kusebutkan namanya. Ada letih yang sejak pagi ikut menempel di tubuh, ada rindu yang entah kepada siapa, dan ada semacam kelegaan saat angin laut menyentuh kulit wajahku. Seolah-olah pantai ini tahu sesuatu yang bahkan tidak sempat kuucapkan.

Lampu-lampu kuning digantung rendah, berjejer seperti garis doa yang tak putus-putus. Saat kulihat dari bawah, cahaya itu jatuh lembut ke meja-meja yang penuh orang. Di sanalah aku merasa kecil—kecil tapi tidak sendirian. Ada keluarga yang tertawa, ada pasangan yang saling mencuri pandang, ada anak kecil yang berlari sambil menyeret gaunnya, meninggalkan jejak-jejak kecil di pasir yang sebentar lagi pasti hilang oleh angin.

Saat makan, waktu seakan tak terasa. Mungkin hidangannya tidak terlalu istimewa, tetapi suasananya—angin, ombak, dan remang cahaya pantai—membuat siapa pun betah duduk lebih lama daripada yang direncanakan.(mc)

Aku memperhatikan mereka satu per satu, bukan karena ingin tahu, tapi karena diam-diam aku merasa menjadi bagian dari hidup mereka malam itu. Ada sekelompok orang yang mengobrol keras sambil mengangkat gelas, dan dari wajah mereka aku bisa membaca kelegaan yang sama seperti yang kurasakan. Ada seorang pria yang sesekali melihat ponselnya, lalu tersenyum kecil—senyum yang mungkin hanya dimengerti oleh seseorang di seberang layar. Ada seorang ibu yang beberapa kali memanggil anaknya agar tidak terlalu dekat ke ombak, suaranya nyaris tenggelam oleh deru laut.

Dan aku—di bangku yang tidak terlalu empuk itu—menyadari betapa malam itu terasa seperti jeda. Hidup yang biasanya berlari cepat tiba-tiba melambat, seolah memberi ruang untuk bernapas. Aku memandang laut yang gelap; ombak datang satu per satu, menyentuh pantai seperti tangan yang menepuk bahu. Pelan, tapi menguatkan.

Dari kejauhan, aku melihat siluet GWK. Ia berdiri diam, tegap, seakan mengawasi ribuan cerita kecil yang berserakan di pantai malam itu. Rasanya seperti ada seseorang yang menjaga dari jauh, seseorang yang mengatakan: “Tenang. Kau tidak sendirian.” Entah mengapa, pemandangan itu membuatku merasa dipeluk—bukan oleh manusia, tapi oleh suasana yang tidak akan kujumpai setiap hari.

Aroma ikan bakar dan bumbu rempah menguar, masuk ke pori-pori udara. Aku menyuap makanan perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku makan tanpa diburu pikiran. Rasanya hangat—bukan semata karena bumbu atau arang, tapi karena aku tahu aku sedang berada di tempat yang membuat hati terasa lebih ringan.

Meski sejauh mata memandang hanya tampak gelap yang memeluk garis pantai, masih ada cahaya dari beberapa sudut ruangan yang cukup terang untuk menerangi langkah, sekaligus mengingatkan bahwa di balik gelap selalu ada tempat untuk melihat dan merasa. (mc)

Ada saat-saat tertentu dalam hidup ketika kita tidak sedang mencari apa pun, tetapi justru menemukan sesuatu. Malam itu, aku tidak datang untuk mencari arti hidup, tidak juga untuk merayakan apa pun. Aku hanya ingin duduk, menatap laut, dan berharap ada sesuatu yang berubah di dalam diriku.

Dan betul—ada yang berubah. Bukan hal besar, tapi cukup untuk membuatku pulang dengan dada yang lebih lapang. Seolah laut, lampu-lampu, tawa orang-orang, dan angin asin itu bekerjasama membuatku mengingatkan kembali: bahwa hidup tidak harus selalu sempurna, tidak harus selalu kuat, dan tidak harus selalu penuh jawaban. Ada waktu-waktu di mana duduk diam, makan perlahan, dan mendengar suara ombak sudah cukup untuk membuat kita merasa “baik-baik saja.”

Saat aku berdiri untuk pergi, lampu-lampu kuning itu masih menyala, ombak masih datang dan pergi, dan anak kecil tadi masih berlari dalam orbitnya sendiri. Tetapi ada sesuatu yang tertinggal di dalam diriku—sesuatu yang membuat langkahku terasa lebih ringan menuju parkiran.

Malam di Jimbaran tidak mengubah hidupku.
Tapi ia mengubah cara aku memandang lelahku.
Dan mungkin, itu sudah lebih dari cukup. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments