spot_img
BerandaBudayaMahesa Jenar dan Pusaka yang Selalu Hilang Saat Kekuasaan Sibuk Mengatur Diri...

Mahesa Jenar dan Pusaka yang Selalu Hilang Saat Kekuasaan Sibuk Mengatur Diri Sendiri

Ia tak mendapat kursi, tak pula jabatan baru. Namun justru di situlah satire kisah ini bekerja: orang yang menyelamatkan negara tak selalu mendapat tempat di dalamnya. Kekuasaan, seperti pusaka, cenderung kembali ke lemari—diamankan, dijaga, dan sewaktu-waktu diperebutkan lagi.

Oleh Tunggul Abyasa

Dalam setiap zaman, pusaka selalu hilang bukan karena kurangnya penjaga, melainkan karena terlalu banyak tangan yang ingin memilikinya. Di Kesultanan Demak, hilangnya Nagasasra dan Sabukinten segera dianggap masalah besar. Bukan semata karena keris itu bertuah, tetapi karena tanpa pusaka, kekuasaan kehilangan legitimasi simboliknya.

Kerajaan gemetar—bukan oleh musuh di luar, melainkan oleh ketakutan akan kehilangan wibawa di hadapan rakyat.

Istana yang Ribut, Ksatria yang Mundur

Di tengah kegaduhan itu, Rangga Tohjaya, perwira Nara Manggala, justru memilih langkah yang tak populer: mengundurkan diri. Ia tak membentuk panitia pencari pusaka. Tak pula mengusulkan rapat panjang yang berujung risalah tanpa tindak lanjut.

Ia pergi.

Keputusan itu terasa ganjil di mata istana. Dalam budaya kekuasaan, orang biasanya bertahan—menunggu situasi reda, mencari aman, atau sekadar memastikan namanya tak tercatat sebagai pihak yang gagal. Mahesa Jenar justru menanggalkan jabatan, seolah paham bahwa jabatan sering kali lebih sibuk menjaga dirinya sendiri ketimbang menjaga amanah.

Pusaka, Simbol yang Diperebutkan

Dalam pengembaraannya, Mahesa Jenar segera menyadari satu hal: banyak pendekar memburu Nagasasra dan Sabukinten bukan untuk menjaga keseimbangan, melainkan untuk menukar pusaka dengan pengaruh. Keris, dalam kisah ini, tak ubahnya stempel legitimasi—siapa menggenggamnya, berhak bicara.

Tokoh seperti Soca Mereng tampil bukan sekadar penjahat, melainkan potret elite oportunis: licik, pandai membaca angin, dan selalu berdiri di sisi yang tampak akan menang. Mereka bukan bertarung demi nilai, melainkan demi posisi.

Dalam dunia seperti ini, kesaktian bukan lagi soal laku batin, melainkan alat tawar.

Ajian Sasra Birawa dan Etika Kekuasaan

Mahesa Jenar memiliki Ajian Sasra Birawa, ilmu yang membuatnya unggul dalam pertarungan. Namun justru di sinilah letak satire kisah ini. Ia mampu mengalahkan lawan, tetapi memilih tak memamerkannya. Ia tahu, kekuatan yang terlalu sering dipertontonkan akan melahirkan ketakutan, bukan keadilan.

Di sisi lain, para pemburu pusaka gemar mempertontonkan kesaktian—seperti pejabat yang rajin berbicara soal prestasi, tetapi absen saat krisis. Mereka lebih sibuk menunjukkan kemampuan daripada menyelesaikan masalah.

Mahesa Jenar berdiri berlawanan: bekerja dalam senyap, bergerak tanpa baliho.

Kemenangan Tanpa Pesta

Ketika Nagasasra dan Sabukinten akhirnya kembali ke Demak, istana kembali tenang. Upacara digelar. Wibawa dipulihkan. Sejarah resmi pun disiapkan—tentu dengan narasi yang rapi dan aman.

Nama Mahesa Jenar disebut seperlunya.

Ia tak mendapat kursi, tak pula jabatan baru. Namun justru di situlah satire kisah ini bekerja: orang yang menyelamatkan negara tak selalu mendapat tempat di dalamnya. Kekuasaan, seperti pusaka, cenderung kembali ke lemari—diamankan, dijaga, dan sewaktu-waktu diperebutkan lagi.

Ksatria dan Ingatan Publik

Mahesa Jenar memilih kembali ke jalan sunyi. Ia tahu, pusaka bisa dikembalikan, tetapi watak kekuasaan jarang berubah. Hari ini Nagasasra dan Sabukinten aman, esok lusa bisa saja hilang lagi—bukan karena dicuri, melainkan karena lupa dijaga.

Kisah ini hidup bukan untuk memuliakan istana, melainkan untuk mengingatkan:
bahwa dalam setiap rezim, selalu ada orang-orang yang bekerja tanpa sorotan, dan selalu ada pusaka yang hilang ketika kekuasaan terlalu sibuk merawat citra.

Dan di antara kegaduhan itu, Mahesa Jenar tetap berjalan—bukan sebagai pahlawan resmi, melainkan sebagai sindiran yang tak pernah benar-benar usang.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments