spot_img
BerandaHumanioraLulus Cumlaude, Bekerja Nge-Load : Nasib Sarjana di Era Ojol

Lulus Cumlaude, Bekerja Nge-Load : Nasib Sarjana di Era Ojol

Ironisnya, pekerjaan yang paling menyerap tenaga kerja justru yang tidak membutuhkan gelar apa pun. Menjadi ojol misalnya, pekerjaan yang tak menyaratkan ijazah tinggi. Namun banyak sarjana masuk ke sana bukan karena minat, melainkan karena pekerjaan lain tidak membuka pintu.

Oleh : Linggar Utomo

Sarjana Baru, Nasib Lama

Di sudut halte dekat kampus ternama di kota itu, pagi-pagi sudah tampak pemandangan yang lebih jujur daripada brosur universitas mana pun: deretan jaket hijau, kuning, biru—warna perusahaan ojek online—berdiri menunggu order. Beberapa di antara mereka masih menyimpan kartu mahasiswa yang belum sempat dicabut dari dompet, sebagai pengingat bahwa mereka pernah kuliah lima tahun, walau akhirnya realitas bergerak lebih cepat daripada materi kuliah.

Para sarjana baru itu tertawa kecil ketika ditanya bekerja di mana.
“Bekerja di lapangan, Mas,” jawab mereka.
Lapangan yang dimaksud tentu bukan lapangan penelitian, tapi lapangan parkir pinggir jalan tempat mereka menunggu pesanan.

Di negeri ini, memang lucu: 17 tahun sekolah, akhirnya kalah cepat dari aplikasi ponsel.

Ijazah, Gelar, dan Mitos Bertahan Hidup

Pendidikan kita memelihara satu keyakinan besar: “Sekolah setinggi mungkin, nanti hidupmu terjamin.” Setelah 6 tahun SD, 3 tahun SMP, 3 tahun SMA, lalu 4–5 tahun kuliah, para mahasiswa lulus dengan senyum bangga.
Namun begitu ijazah dicetak dan toga dikembalikan, mereka disambut kenyataan pahit—bahwa ijazah tidak otomatis menggerakkan pintu rezeki.

Ada yang menganggur berbulan-bulan.
Ada yang bekerja serabutan.
Ada yang menulis “fresh graduate” dalam lamaran kerja hingga tinta di printer hampir habis.
Ada pula yang akhirnya memilih setir motor daripada setir masa depan yang tak kunjung jelas.

“Daripada nganggur, Mas,” kata Fikri, sarjana ekonomi yang kini menjadi kurir paket. Ekonomi mikro mungkin dia kuasai, tetapi mikro yang satu ini lebih nyata: mikro-transaksi per liter bensin agar dia bisa pulang membawa uang.

Salah Jurusan: Sebuah Tradisi Nasional

Di banyak keluarga, memilih jurusan bukan soal minat, tapi soal gengsi dan tebak-tebakan nasib.

Orang tua ingin anaknya jadi dokter—
padahal anaknya pingsan tiap lihat darah.

Anak ingin masuk seni rupa—
tapi disuruh ambil manajemen karena “lebih menjamin masa depan.”

Ketika lulus, tak heran jika banyak mahasiswa hanya menjadi turis di jurusannya sendiri: singgah empat tahun, keluar tanpa benar-benar memahami.

Yang penting gelar.
Urusan masa depan dibicarakan nanti.
Tepatnya setelah kebingungan melanda.

Keahlian: Mata Kuliah yang Tidak Pernah Diajar

Di kelas, mahasiswa diajari teori-teori hebat dari buku yang ditulis profesor luar negeri.
Namun ketika masuk dunia kerja, mereka ditanya hal yang jauh lebih sederhana:
“Bisa mengoperasikan aplikasi X?”
“Punya portofolio?”
“Punya pengalaman?”

Kampus mengajarkan cara menjawab soal pilihan ganda,
tetapi dunia kerja menuntut kemampuan memecahkan masalah yang jawabannya tidak ada di belakang buku.

Hasilnya jelas: banyak lulusan sarjana hanya memiliki gelar, bukan keahlian.

Lapangan Kerja: Pintu Sempit, Pelamar Berjubel

Setiap tahun, kampus mencetak ribuan lulusan.
Namun lowongan kerja tidak ikut berkembang sepesat itu.
Yang terjadi adalah antrean panjang yang hanya menguji siapa yang lebih sabar menunggu ditolak.

Mereka yang “beruntung” diterima.
Mereka yang “cukup beruntung” jadi kontrakan setahun.
Sisanya? Ya kembali ke titik nol.

Ada yang membuka usaha ala kadarnya—jualan kopi literan, kue rumahan, atau katering kecil.
Ada yang beralih ke dunia ojol.
Ada pula yang kembali kuliah S2 dengan harapan nasibnya membaik—padahal dunia kerja S2 dan S1 sama saja: sempit.

Ketika Realitas Mengajar Kita Lebih Kejam dari Dosen Mana Pun

Ironisnya, pekerjaan yang paling menyerap tenaga kerja justru yang tidak membutuhkan gelar apa pun.
Menjadi ojol misalnya, pekerjaan yang tak menyaratkan ijazah tinggi.
Namun banyak sarjana masuk ke sana bukan karena minat,
melainkan karena pekerjaan lain tidak membuka pintu.

Beginilah pendidikan kita:
membiarkan anak-anak muda menghabiskan belasan tahun duduk di bangku sekolah, tetapi tidak membekali mereka berdiri di atas kakinya sendiri.

Sebuah sistem yang begitu percaya bahwa nilai rapor adalah masa depan, dan kreativitas hanya hiasan kegiatan ekstrakurikuler.

Akhirnya, Kita Kembali Bertanya…

Apa yang sebenarnya salah?
Pendidikan kita?
Pasar kerja kita?
Atau mimpi kita yang terlalu percaya pada ijazah?

Mungkin semuanya salah sedikit.
Dan sedikit-sedikit itu, jika dibiarkan selama puluhan tahun, menjelma menjadi masalah yang hari ini kita saksikan:
sarjana yang tersesat di negeri yang katanya menjunjung ilmu.

Sementara brosur kampus masih menjual mimpi:
“Kuliah di sini, masa depan cerah!”
Para lulusan diam-diam tersenyum miris dari atas motor ojolnya,
karena masa depan yang cerah itu kini lebih ditentukan sinyal GPS
daripada gelar yang dulu mereka banggakan.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments