spot_img
BerandaHumanioraLuka Tidak Perlu Disembuhkan, Cukup Dipahami

Luka Tidak Perlu Disembuhkan, Cukup Dipahami

Waktu tidak selalu menyembuhkan, tapi waktu memberi ruang bagi pemahaman tumbuh. Dan pada akhirnya, mungkin memang benar: luka tidak selalu harus disembuhkan. Ia hanya perlu dipahami—dalam diam, dalam pasrah, dalam kasih yang perlahan memeluk diri sendiri.

LESINDO.COM-“Luka tidak perlu disembuhkan, cukup dipahami.”
Kalimat sederhana itu mungkin terdengar aneh bagi telinga yang terbiasa dengan nasihat “ayo kuat,” “ayo move on,” atau “jangan terlalu lama sedih.” Kita hidup di zaman yang menuntut kita untuk cepat pulih, cepat tersenyum lagi, cepat melupakan apa yang pernah membuat kita runtuh. Seolah-olah kesedihan adalah dosa, dan air mata adalah tanda kelemahan.

Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada luka yang memang tidak bisa—dan tidak perlu—disembuhkan sepenuhnya. Ada perih yang tidak lenyap oleh waktu, tapi perlahan berubah bentuk menjadi pengertian. Karena tidak semua luka datang untuk dihancurkan, sebagian datang untuk mengajarkan kita sesuatu: tentang kehilangan, tentang menerima, tentang melepaskan dengan ikhlas.

Kita sering diajarkan bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir, sehingga ketika rasa sakit datang, kita bergegas menutupnya rapat-rapat. Kita menempelkan senyum palsu di wajah, berpura-pura baik-baik saja padahal hati berantakan. Kita takut dianggap lemah, padahal menyembunyikan luka justru membuatnya membusuk di dalam diri.

Padahal, memahami luka bukan berarti tenggelam di dalamnya. Memahami luka berarti berani menatapnya tanpa takut, mengakui bahwa ia ada, dan bahwa ia pernah menjadi bagian dari diri kita. Luka yang dipahami perlahan menjadi guru yang lembut—ia mengajarkan kita sabar, mengajarkan kita empati, mengajarkan kita bagaimana mencintai diri sendiri tanpa syarat.

Ada saat di mana kita berhenti bertanya, “kapan aku sembuh?” dan mulai berkata, “aku belajar berdamai.”
Sebab kadang, kedamaian tidak datang dari sembuhnya luka, tetapi dari keberanian untuk hidup berdampingan dengannya tanpa lagi merasa terancam. Dari titik itu, kita mulai memahami bahwa setiap rasa sakit membawa pesan tersembunyi—tentang siapa kita, tentang apa yang penting, tentang cinta yang tetap tinggal meski kehilangan telah datang.

Waktu tidak selalu menyembuhkan, tapi waktu memberi ruang bagi pemahaman tumbuh.
Dan pada akhirnya, mungkin memang benar: luka tidak selalu harus disembuhkan. Ia hanya perlu dipahami—dalam diam, dalam pasrah, dalam kasih yang perlahan memeluk diri sendiri.

Di balik setiap luka, ada cerita yang ingin dimengerti.
Dan ketika kita berani memahaminya, barulah kita sungguh pulih—tanpa harus benar-benar sembuh. Luka bukan musuh yang harus dikalahkan, melainkan cermin yang menunjukkan siapa dirimu sebenarnya—rapuh, tapi tetap berani untuk hidup.(Sg)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments