LESINDO.COM – Di sebuah dapur kecil di lereng dataran tinggi, asap tipis mengepul dari wajan yang mendidih pelan. Bau gurih ayam yang direbus lama bercampur dengan aroma cabai gendot—cabai gembul khas Dieng yang menjadi ikon pedas masyarakat pegunungan. Di dalam mangkuk hijau sederhana, perpaduan itu berubah menjadi sebuah sajian yang lebih dari sekadar masakan: sebuah kisah tentang ketinggian, ketahanan, dan tradisi rasa.
Jejak Khas dari Dataran Berkabut
Bentuknya unik: montok, berisi, dan sering tampak lebih seperti buah kecil ketimbang cabai. Lombok gendot—atau gendhot, begitu orang DiÂeng menyebutnya—telah lama menjadi bumbu utama hidangan rumahan di kawasan yang dinginnya bisa menusuk sampai tulang. “Kalo pengin anget cepet, ya masak pake gendot,” ujar seorang warga lokal dalam banyak cerita kuliner. Pedasnya memang tidak meledak tiba-tiba, tetapi naik perlahan dan menggigit lama, cocok untuk tubuh yang butuh kehangatan.
Sajian yang lahir dari Sabar
Di mangkuk itu, tetelan tulang ayam tampak menumpuk dengan warna kecokelatan pekat. Potongan-potongan tulang kecil masih berbalut daging sisa—jenis bagian yang tidak mewah, tapi justru menyimpan rasa paling kuat. Beberapa cabai gendot—ada yang hijau segar, ada yang jingga matang—dibiarkan utuh hingga kulitnya keriput dan pecah di beberapa sisi, tanda bahwa cabai telah menyerah pada panas bumbu dan menyebarkan rasa pedasnya ke seluruh kuah.
Kuahnya tampak tebal, hampir menyerupai gulai, meski racikannya sederhana: bawang merah, bawang putih, cabai, sedikit kemiri, dan bumbu dapur lain yang digerus kasar. Di dapur-dapur Dieng, proses memasaknya tidak tergesa. Tetelan dan cabai dibiarkan mendidih lama, hingga lemak ayam menyatu dengan pedas cabai menjadi kuah gurih yang menghangatkan.
Rasa yang Mengikat Rumah
Setiap suapannya menghadirkan tiga sensasi: gurih yang pelan, pedas yang menanjak, dan aroma khas cabai gendot yang keluar ketika buahnya ditekan dengan sendok. Ini adalah jenis masakan yang biasanya hadir setelah hari yang panjang: ketika warga pulang dari kebun kentang, dari ladang carica, atau dari pasar pagi yang selalu dibasahi embun.
Di banyak rumah di dataran tinggi, sajian seperti ini adalah simbol: bahwa menghangatkan keluarga bukan hanya soal selimut tebal, tapi juga semangkuk masakan yang diracik dari apa yang tumbuh di tanah sendiri.
Ikon Pedas yang Menjelma Identitas
Kini, lombok gendot tak sekadar bumbu. Ia menjadi identitas—ikon kecil yang menandai sebuah kawasan, sama seperti carica atau purwaceng. Banyak wisatawan pulang dari Dieng membawa plastik berisi cabai montok ini, tak hanya untuk mencicipi pedasnya, tetapi juga untuk menyimpan sepotong cerita dari dataran berkabut itu.
Dalam sebuah mangkuk sederhana yang Anda tunjukkan, tersimpan narasi panjang tentang ketinggian dan keseharian. Tentang bagaimana masyarakat Dieng meracik rasa dari apa yang alam berikan: pedas yang tak meledak, tetapi perlahan menghangatkan. Seperti kehidupan di pegunungan—pelan, tenang, tapi punya daya tahan luar biasa.(Dhi)

