LESINDO.COM – Di antara lalu-lalang kendaraan di Jalan Slamet Riyadi, Solo — jalan utama yang menjadi nadi kota — berdiri sebuah rumah besar dengan pagar putih, pepohonan rindang, dan arsitektur kolonial yang anggun. Bangunan itu bernama Loji Gandrung, kini menjadi rumah dinas Wali Kota Surakarta. Namun, di balik temboknya yang kokoh dan halamannya yang teduh, tersimpan kisah panjang yang merentang sejak abad ke-19.
Jejak Seorang Saudagar dan Awal Sebuah Nama
Loji Gandrung dibangun sekitar tahun 1830 oleh Johannes Augustinus Dezentje, seorang saudagar gula keturunan Belanda yang kaya raya di masa kolonial. Ia dikenal sebagai pria yang gemar mengadakan pesta dan pertemuan sosial. Musik gamelan berpadu dengan denting gelas anggur sering terdengar dari dalam rumah besar itu.
Masyarakat sekitar pun memberi julukan “Loji Gandrung” — loji berarti rumah besar, sementara gandrung berarti tergila-gila atau terpesona. Sebuah sebutan yang menggambarkan betapa meriahnya tempat itu di masa lampau; rumah besar yang selalu “digandrungi” orang.
Pesona Arsitektur dan Jejak Waktu
Bangunan ini bergaya Indis, perpaduan antara arsitektur Eropa klasik dan sentuhan lokal Jawa. Pilar-pilar tinggi menjulang di beranda, jendela besar berdaun ganda membingkai cahaya matahari sore, dan atap sirap kayu membentuk segi lima yang khas. Di dalamnya, beberapa perabot antik masih bertahan, seperti kursi kayu jati tua, cermin besar, dan lemari kaca dengan ukiran rumit.
Konon, salah satu kamar di rumah ini pernah digunakan oleh Presiden Soekarno saat berkunjung ke Solo. Jejak masa perjuangan pun tercatat di sini — ketika Loji Gandrung menjadi markas pasukan Gatot Subroto dan Slamet Riyadi dalam menyusun strategi Serangan Umum tahun 1949. Dari ruang yang tenang ini, lahir rencana-rencana besar untuk merebut kembali kedaulatan bangsa.
Dari Rumah Kolonial ke Rumah Kepemimpinan

Setelah masa kemerdekaan, Loji Gandrung beralih fungsi menjadi rumah dinas Wali Kota Surakarta. Sejak itu, banyak kebijakan dan keputusan penting lahir dari ruang tamu yang bersejarah ini. Namun bangunan ini tak sekadar tempat tinggal pejabat, melainkan juga ruang publik yang mencerminkan semangat keterbukaan.
Kini, Pemerintah Kota Surakarta telah menata ulang kompleks ini agar lebih terbuka. Masyarakat dapat berkunjung, menikmati taman yang rindang, atau sekadar berfoto di bawah lengkung jendela besar yang menjadi ikon Loji Gandrung. Bahkan ada rencana menjadikannya ruang publik 24 jam, tempat warga bisa bersantai sambil menikmati suasana klasik di tengah kota modern.
Menjaga Warisan di Tengah Zaman
Loji Gandrung bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah saksi perjalanan waktu — dari masa kolonial, masa perjuangan, hingga masa kini. Setiap pilar, lantai marmer, dan daun jendela seolah menyimpan cerita tentang orang-orang yang pernah menjejak di sana: dari para bangsawan, pejuang, hingga pemimpin kota.
Di tengah hiruk pikuk Solo yang terus tumbuh, Loji Gandrung berdiri tenang, menjadi pengingat bahwa kemajuan tidak harus menghapus sejarah. Ia tetap gagah, anggun, dan “gandrung” — bukan lagi pada pesta, tapi pada kenangan dan nilai yang diwariskannya. (Hib)


