Oleh Adreena seorang pejalan yang mencari jeda di lereng Sumbing
Pagi itu, jalanan Magelang masih berkabut tipis ketika roda motor mulai menanjak menuju Silancur Highland. Udara dingin memeluk dari segala arah, seperti tangan lama yang mengajak kembali pada rasa yang pernah akrab: hening, segar, dan pelan-pelan merontokkan segala penat yang sebelumnya menempel di kepala.
Di sebuah tikungan panjang, sela-sela pepohonan mulai membuka tirai: tampak punggung Gunung Sumbing menjulang seperti raksasa yang baru bangun dari tidur panjangnya. Semakin naik, semakin sering mata menangkap gumpalan awan yang seolah tersangkut di dahan cemara. Di sinilah perjalanan mulai berubah menjadi semacam upacara kecil—antara diri dan alam yang tak pernah buru-buru.

Silancur Highland menyambut dengan semilir angin dan garis horizon yang terbentang tanpa malu. Di bibir tebingnya, aku berdiri menatap hamparan lembah Magelang yang perlahan diterangi sinar matahari. Warna keemasannya menetes pelan, mengubah kabut menjadi tirai tipis yang bergerak anggun. Beberapa orang duduk diam, seolah kata-kata tak lagi berguna. Sunrise memang sering begitu: memaksa kita percaya bahwa hari bisa selalu dimulai ulang.
Usai secangkir kopi hangat di warung kecil pinggir taman bunga, perjalanan dilanjutkan menuju Nepal van Java—Dusun Butuh, desa yang namanya kini melambung karena lanskap rumah berundaknya yang menggantung di lereng gunung. Jalan menuju ke sana menanjak curam, tapi pemandangannya tak pelit keindahan. Rumah-rumah berdempetan bagai kotak-kotak warna yang ditinggalkan seniman di kanvas batu.
Begitu memasuki dusun, suasana berubah. Terasa kehidupan sederhana yang jujur: suara sepeda motor warga, aroma kayu bakar, anak-anak berlari di tangga beton yang menanjak. Di belakang mereka, Gunung Sumbing berdiri begitu dekat, seakan hanya sejengkal dari atap rumah. Tak heran desa ini dijuluki “Nepal van Java”—bukan sekadar karena bentuk rumah yang bertingkat, tapi juga karena debur kehidupan pegunungan yang begitu terasa.

Di sebuah sudut, aku berhenti sejenak. Ada lanskap yang membuat hati diam: rumah-rumah kecil yang bertahan di kemiringan tanah, ladang-ladang hijau yang ditorehkan di lereng curam, dan langit biru yang seakan lebih rendah dari biasanya. Perjalanan ini rasanya seperti menonton film kehidupan yang bergerak lambat, sederhana, tapi penuh makna.
Menjelang siang, awan mulai turun. Jalan kembali menurun menuju kota, tapi hati masih menggenggam sepotong pagi dari Silancur dan sebait keteduhan dari Dusun Butuh.
Mungkin inilah kenapa orang bepergian: bukan untuk mencari tempat baru, tapi untuk menemukan diri yang sempat hilang dalam rutinitas.

