spot_img
BerandaHumanioraLegenda di Petak Sawah: Menelusuri Kembali Kejayaan Rojolele Delanggu

Legenda di Petak Sawah: Menelusuri Kembali Kejayaan Rojolele Delanggu

ika ditanya apa yang membuat Rojolele dirindukan, jawabannya selalu kembali pada tiga kata: pulen, besar, harum. Teksturnya lembut namun padat, butirannya gemuk dan putih bersih — kualitas yang membuatnya jadi primadona meja makan tradisional. Di era ketika konsumen mulai kembali mencari karakter khas bahan pangan lokal, Rojolele menemukan momentum baru untuk diperkenalkan ulang.

Rojolele: Dari Sawah Delanggu ke Meja Nusantara
Ketika sebutir padi memanggul sejarah, selera, dan harapan masa depan.

LESINDO.COM – Pada suatu pagi yang jernih, sinar matahari memantul di permukaan petak sawah Delanggu. Di antara desir angin, bulir-bulir padi tampak lebih bulat dan padat, seolah membawa kisah yang belum selesai. Itulah Rojolele — varietas padi yang dulu diagungkan, sempat meredup, dan kini kembali menyapa Nusantara lewat tangan-tangan para petani yang tak lelah setia pada tanahnya.

Jejak Nama, Jejak Ingatan

Nama Rojolele tak pernah berdiri sendiri. Ia memikul dua, bahkan tiga versi cerita yang beredar dari mulut ke mulut: ada yang meyakini ia lahir saat raja Kasunanan Surakarta menyapa rakyat dalam tradisi tedhak desa; ada pula yang menyebut peristiwa itu terjadi pada masa Paku Buwono II di abad ke-18. Benar atau tidak, kisah-kisah itu kini menjadi bagian dari memori kolektif Delanggu — semacam nostalgia yang menghubungkan rakyat, raja, dan sebutir padi dalam kesahajaan yang puitis.

Rasa yang Tak Sekadar Rasa

Jika ditanya apa yang membuat Rojolele dirindukan, jawabannya selalu kembali pada tiga kata: pulen, besar, harum. Teksturnya lembut namun padat, butirannya gemuk dan putih bersih — kualitas yang membuatnya jadi primadona meja makan tradisional. Di era ketika konsumen mulai kembali mencari karakter khas bahan pangan lokal, Rojolele menemukan momentum baru untuk diperkenalkan ulang.

Kebangkitan dari Tanah Sendiri

Di tangan petani yang tekun, varietas Rojo Lele tumbuh dengan bulir-bulir tebal dan padat, seolah menyimpan janji. Janji rasa yang kelak terwujud ketika ia dimasak: nasi yang pulen, hangat, dan mengenyangkan—bukan sekadar pangan, melainkan hasil dari kerja panjang yang jarang disorot.(mc)

Dalam beberapa tahun terakhir, Rojolele tidak lagi hanya beredar sebagai cerita nostalgia. Pemerintah daerah dan Bulog meluncurkan produk berstandar modern: Befood Rojolele Srinuk. Dari penyediaan benih unggul sampai pengolahan yang memenuhi standar kualitas, Rojolele diarahkan kembali menjadi komoditas bernilai ekonomi. Pendampingan kepada kelompok tani serta perluasan lahan menjadikan varietas ini bukan lagi produk musiman, melainkan komoditas strategis yang disiapkan masuk pasar nasional.

Cerita Petani: Dari Keraguan ke Harapan

Di desa-desa sekitar Delanggu, banyak petani yang menganggap Rojolele sebagai warisan. Lama tak ditanam, benihnya kembali menggeliat setelah program pendampingan hadir. “Pulené apik, regané uga luwih mesti,” cerita seorang petani yang kembali menanamnya. Beberapa kelompok tani melaporkan pendapatan yang lebih stabil dibanding menanam varietas lain, sebuah harapan kecil namun berarti di tengah fluktuasi harga gabah yang sering membuat nelangsa.

Jalan Tak Serta-Merta Mulus

Namun, kebangkitan selalu menuntut konsistensi. Benih unggul harus tersedia sepanjang musim, hama dan penyakit selalu mengintai, dan tantangan terbesar: meyakinkan konsumen untuk membayar sedikit lebih mahal demi kualitas lokal. Tanpa kerja berkelanjutan, proyek besar seperti ini mudah sekali berubah sekadar seremoni.

Budaya, Ekonomi, dan Masa Depan

Rojolele tidak hanya mengisi karung-karung beras. Ia membawa kembali cerita raja, ritual panen, dan kebanggaan lokal Delanggu. Jika dikembangkan dengan visi budaya, varietas ini bahkan dapat membuka pintu bagi pariwisata kuliner — dari paket edukasi sawah, produk olahan khas, hingga suvenir pangan berbasis beras. Dampaknya dapat menggerakkan ekonomi mikro desa-desa di Delanggu, menghidupkan rantai nilai yang dulunya hampir terputus.

Di tengah derasnya beras impor dan varietas komersial instan, Rojolele hadir seperti suara lama yang kembali dipanggil: lembut, pelan, tapi menghangatkan. Ia mengingatkan bahwa pangan bukan sekadar komoditas, melainkan cerita panjang tentang tanah, tangan, dan tradisi. Dari sawah Delanggu yang tenang hingga meja makan di seluruh Nusantara, Rojolele membawa satu pesan: kejayaan lokal selalu mungkin untuk tumbuh kembali — sepanjang ada yang merawatnya.(Qi)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments