LESINDO.COM – Di sebuah sudut jalan yang tak begitu lebar, malam perlahan mengental. Lampu-lampu toko mulai meredup, namun satu titik cahaya justru terlihat semakin terang: sebuah gerai Nescafé berwarna merah menyala, berdiri mencolok di tengah arus manusia yang tak kunjung sepi. Seakan menjadi oase baru bagi para pejalan, kios kecil itu memancarkan kesegaran—baik dari aroma kopi maupun dari hiruk-pikuk yang mengitarinya.
Gerai itu tidak pernah benar-benar sunyi. Dua bangku plastik di depan etalase selalu terisi, sementara beberapa anak muda tampak mengantre, sabar menunggu minuman dingin berharga Rp 5.000 yang terpampang besar di dindingnya. Harga itu seperti mantra yang membuat banyak orang menoleh, berhenti, dan akhirnya turut meramaikan antrean.
Fenomena menyeruaknya gerai minuman kopi memang kian terasa dalam beberapa tahun terakhir. Kini, kopi bukan hanya minuman bagi mereka yang butuh terjaga, melainkan bagian dari gaya hidup. Bahkan minuman kopi dingin dalam kemasan praktis—yang dulu dianggap sekadar pelengkap rak minimarket—kini bereinkarnasi menjadi ikon baru yang diserbu pasar anak muda.
Nescafé melihat peluang itu, dan gerai kecil di tepi jalan malam ini adalah salah satu buktinya. “Ramai terus, Mas. Apalagi habis Isya,” ujar seorang penjaga gerai sambil merapikan tumpukan gelas plastik. Suaranya hampir tenggelam oleh deru sepeda motor yang melintas. Ia bercerita, banyak pembeli datang bukan hanya karena haus, tetapi karena penasaran ingin mencoba varian baru.
Varian rasa memang menjadi daya tarik tersendiri. Dari es kopi klasik, cappuccino dingin, sampai caramel latte dengan sedikit sentuhan manis—semuanya menyasar selera generasi muda yang suka mencoba hal baru. “Anak-anak sekarang suka rasa yang creamy-creamy, yang manis tapi tetap ada kopinya,” tambah sang penjaga.
Di bangku kecil, sekelompok remaja duduk saling bercanda. Sebagian sibuk merekam suasana, membuat video singkat untuk Instagram Story. Kopi bukan lagi sekadar minuman; ia telah menjadi bagian dari ritual sosial. Tempat-tempat seperti gerai Nescafé ini menjadi “ruang publik mini” yang muncul dadakan, membungkus keakraban dalam kesederhanaan.
Di balik keramaian itu, bisnis kopi bergerak dalam ritme yang makin cepat. Gerai besar muncul di pusat kota, sementara gerai kecil seperti ini menjangkau lorong-lorong kampung dan pinggir jalan yang sebelumnya sepi. Populasi usaha minuman berbahan dasar kopi memang sedang meledak, memaksa pelaku usaha untuk tampil berbeda—entah lewat harga, rasa, atau kemudahan akses.
Namun malam ini, semua teori bisnis itu seolah mereda. Yang terlihat hanya orang-orang yang berhenti sejenak dari kepenatan hari—meneguk kopi dingin dengan wajah lelah namun lega.
Di balik gelas plastik berembun itu, ada cerita yang lebih luas: tentang bagaimana kopi telah berubah menjadi bahasa pertemuan, penggerak ekonomi kecil, dan simbol gaya hidup baru masyarakat urban.
Dan di tengah gelapnya malam, gerai Nescafé itu berdiri seperti kepala mercusuar kecil—menawarkan kesegaran bagi siapa saja yang melintas. (Qom)

