Oleh Lek Warto
Perjalanan ke Dieng kali ini betul-betul membuka mata. Bukan membuka mata pada keindahan alam—itu jelas. Yang terbuka justru kesadaran pahit bahwa tubuh saya sekarang beroperasi seperti WiFi publik di halte: kadang cepat, sering lelet, dan tiba-tiba “disconnect” tanpa peringatan.
Padahal, sepanjang perjalanan saya cuma duduk manis di kursi bus. Tidak mendaki. Tidak lari. Tidak salto. Tidak melakukan aksi heroik apa pun selain nahan kantuk sambil pura-pura memandangi pemandangan. Tapi anehnya, pulang-pulang rasanya seperti habis audisi atlet triathlon. Bahkan betis saya protes duluan, “Iki awakmu ngopo toh? Lungguhe wae kok kesel?”
Kepala saya, seperti biasa, masih positif thinking.
“Ayo! Kita jelajahi Dieng! Kita ini petualang sejati!”
Tubuh menjawab dengan lirih:
“Petualang kok kolesterol naik…”
Punggung kemudian mengajukan mosi tidak percaya. Lutut menyusul dengan rapat darurat. Tangan ikut angkat bicara:
“Wis, Boss… sak madyo wae. Kalau dipaksa terus, aku lekas resign.”

Dan benar juga. Di usia segini, memaksa diri itu sama seperti memaksa kipas angin tua berputar di level tiga: bisa sih, tapi goyangnya ngeri.
Yang paling lucu dari semua ini adalah bagaimana kata deadline masih menempel di otak saya seperti stiker cashback yang tidak bisa dilepas. Padahal di Dieng, siapa coba yang kejar-kejaran sama deadline? Kabut aja santai turun pelan-pelan, matahari bangun seenaknya, dan rumput pun tidak pernah tanda tangan kontrak jam kerja.
Tapi mental saya sudah dicor oleh masa lalu:
Dengar kata “deadline”, langsung deg-deg-an.
Dengar kata “relaksasi”, malah curiga.
Dengar kata “liburan”, tubuh bertanya: “Lemburan maneh?”
Jadilah perjalanan ini terasa absurd: orang lain berburu sunrise, saya berburu tempat duduk yang empuk. Orang lain foto-foto candi, saya foto kursi kosong dengan perasaan haru. Orang lain menikmati udara dingin, saya justru merasa sendi-sendi saya mengeluarkan bunyi “krtek-krtek” seperti pintu gudang.
Namun dari semua keabsurdan itu, saya belajar satu pelajaran penting:
Petualangan terbaik di Dieng adalah berdamai dengan kenyataan bahwa tubuh kita sekarang versi demo, bukan versi full speed.
Dan jujur saja, itu melegakan.
Karena ternyata liburan yang paling menyenangkan bukan yang penuh aksi dan drama, tapi yang isinya cuma:
makan, duduk, rebahan, foto sedikit, lalu pura-pura merenung melihat kabut.
Itu pun kadang ngos-ngosan.

