Almamater Kuning Kenangan yang Tak Pernah Pudar
LESINDO.COM-Kota Malang pada awal 1990-an hingga penghujung 1998 menyimpan cerita yang berbeda dari wajahnya sekarang. Pasca reformasi, jalan-jalan di kota ini memang sudah ramai, tetapi belum sepadat dan semacet hari ini. Bagi mereka yang pernah melintasi jalur Malang–Batu kala itu, suasananya jauh lebih lengang. Dari pusat Kota Madya Malang menuju Batu yang kini tak lagi menjadi bagian Kabupaten Malang perjalanan terasa ringan dan menyenangkan. Bahkan, ada kebiasaan unik: sepeda motor sengaja dimatikan mesinnya, dibiarkan meluncur bebas menuruni jalan dengan tenang, seolah menikmati udara segar pegunungan tanpa gangguan.
Kini, pemandangan itu hanya tersisa dalam ingatan. Perkembangan pariwisata dan derasnya arus kendaraan membuat jalan Malang–Batu semakin padat, terutama saat musim liburan. Jalanan yang dulu memberi keleluasaan, kini menjadi tantangan baru. Perubahan zaman benar-benar mengubah segalanya, meninggalkan nostalgia yang tak mudah dilupakan.
Sebuah foto lawas merekam momen hangat ikatan keluarga besar Perintis AMPA Malang angkatan 1980–1982. AMPA pastinya adalah pendahulu sebelum menjadi Universitas Gajayana Malang atau UNIGA, dengan latar belakang hitam dengan tulisan emas menjadi saksi kebersamaan yang kembali dipererat, setelah puluhan tahun waktu berjarak. Di barisan belakang, tampak para alumni muda kala itu mengenakan jas kuning cerah seragam kebanggaan yang menjadi identitas kebersamaan mereka. Warna itu seakan melambangkan semangat optimisme dan tekad perjuangan masa mahasiswa. Foto ini bukan hanya potret reuni, melainkan juga pengingat akan perjalanan panjang dari masa belajar, jatuh bangun merintis kehidupan, hingga kini berkumpul kembali dalam bingkai nostalgia dan rasa persaudaraan.

Tahun 1996 mungkin karena faktor usia banyak detail yang kini samar, meski bukan berarti hilang ingatan. Yang paling lekat justru kenangan akan jaket kebanggaan almamater berwarna kuning mencolok. Dari jarak satu kilometer pun, warnanya masih tampak jelas menyala, seolah menjadi tanda jati diri kami.
Kala itu aku masih tercatat sebagai bagian dari Senat Mahasiswa. Entah menjabat sebagai ketua 1, 2, atau 3, aku tak lagi ingat. Yang kuingat, ada seorang kakak senior yang sudah sukses mengajak kami, para yunior, untuk ikut menyukseskan acara reuni. Melihat mereka hadir dengan penampilan penuh wibawa membuat hati tergetar. Beberapa sudah membawa telepon genggam setebal ulekan sambel sungguh “waaauuu” di mata kami kala itu. Warna warni mobil mereka seperti pelangi pun berjajar rapi di pelataran kampus biru.
Sementara aku masih berjalan timik-timik, menapaki ruang masa depan yang terasa hampa dan tak jelas arahnya. Namun bisa turut membantu, membersamai senior, dan menyaksikan pertemuan kangen itu saja sudah membuatku bahagia. Kini, wajah-wajah dalam jaket kuning itu kian samar dalam ingatan. Hanya segelintir teman Senat yang masih kuingat jelas. Untuk mereka semua, teman seperjuangan masa muda, aku titip doa: semoga jalan kalian senantiasa diberi terang, penuh kesuksesan, dan kebaikan yang abadi. (mac)