LESINDO.COM – Dalam hidup kita, selalu ada orang-orang yang datang dan pergi, singgah dan berdiam, menemani dan kemudian menjauh. Waktu sering dianggap sebagai tanda kesetiaan—semakin lama bersama, semakin kuat ikatan yang terbangun. Namun, apakah benar demikian? Di banyak sudut kehidupan, kita menemukan kisah yang berkisah sebaliknya: bahwa yang bertahan lama belum tentu tulus, dan yang tulus belum tentu selalu tinggal di sisi kita selamanya.
Dalam falsafah Jawa, ketulusan sering dirangkum dalam ungkapan “tulus tanpo upo”—memberi tanpa berharap kembali, hadir tanpa menuntut tempat, mencintai tanpa syarat yang harus dipenuhi. Ketulusan bukan soal seberapa banyak kita memberi, melainkan seberapa jernih niat di baliknya. Ia tidak tumbuh dari perhitungan untung rugi, melainkan dari hati yang lapang—legawa, dan rela tanpa pamrih.
Di tengah dunia yang semakin ramai dengan kepentingan, ketulusan menjadi semacam anugerah yang langka. Ia hadir dalam bentuk-bentuk kecil: seorang teman yang diam-diam mendoakan, saudara yang tak pernah meminta balasan, atau pasangan yang tetap setia meski badai datang silih berganti.
Yang paling berharga dalam setiap hubungan—baik cinta, persahabatan, maupun keluarga—bukanlah lamanya waktu yang dihabiskan bersama, melainkan ketulusan yang tetap hidup meski segalanya berubah. Ketulusan adalah kesetiaan hati yang tak diukur oleh usia kebersamaan, tetapi oleh kesediaan untuk tetap ada, dengan cara paling sederhana sekalipun.
Mungkin benar, banyak yang bisa menemani kita dalam jangka panjang, tetapi tidak semua mampu tetap tulus sampai akhir. Sebab ketulusan bukan tentang durasi, melainkan keteguhan hati yang tak pernah meminta balasan.
Dan pada akhirnya, hidup akan menunjukkan: bukan siapa yang paling lama tinggal, tetapi siapa yang paling jujur mencintai.
“Aku jadi bertanya pada diriku sendiri: sudahkah aku memberi dengan ketulusan yang sama, seperti yang sering kuharapkan dari orang lain?” (mac)

