LESINDO.COM – Di tengah malam yang teduh, aroma kemenyan perlahan menebar di udara. Suara gamelan mengalun lirih, mengiringi dalang yang mulai membuka kisah Murwakala—sebuah lakon tua yang sudah ratusan tahun menjadi bagian dari upacara ruwatan. Dalam cahaya temaram, orang-orang duduk bersila, menunduk khusyuk. Malam itu bukan sekadar pertunjukan wayang, melainkan perjalanan jiwa untuk membersihkan diri dari segala sengkala.
Ruwatan, dalam pandangan orang Jawa, bukan sekadar ritual adat. Ia adalah doa yang menjelma menjadi laku hidup. Dari kata ruwat, artinya membebaskan—membebaskan diri dari belenggu nasib buruk, dari beban leluhur, atau dari noda yang tak kasatmata. Namun lebih dari itu, ruwatan adalah upaya mengembalikan keseimbangan antara manusia dengan alam, antara dunia lahir dan batin, antara yang tampak dan yang tak terlihat.

Anak-anak yang disebut sukerta—anak tunggal, kembar, atau lahir di waktu tertentu—menjadi pusat perhatian dalam ruwatan. Bukan karena mereka dianggap pembawa sial, tetapi karena dalam keyakinan Jawa, setiap kehidupan membawa takdir dan tanggung jawabnya sendiri. Melalui ruwatan, keluarga berikhtiar agar sang anak tumbuh selaras, terbebas dari bayang-bayang Kala, sang waktu yang lapar akan kealpaan manusia.
Di panggung wayang, Batara Kala menjadi lambang dari nafsu dan kegelapan. Ia bukan musuh yang harus dimusnahkan, tetapi cermin diri manusia sendiri—yang harus dikenali, dikendalikan, dan disucikan. Maka, saat dalang menuturkan mantra dan menuntaskan kisahnya, sesungguhnya ia sedang menuntun setiap jiwa yang hadir untuk kembali pada sangkan paraning dumadi—asal dan tujuan hidup manusia.
Ruwatan adalah cara orang Jawa menyapa semesta dengan hormat, mengingat bahwa hidup tak hanya urusan duniawi, tetapi juga keseimbangan antara jiwa dan alam raya. Di balik asap dupa dan tembang doa, tersimpan pesan luhur: bahwa manusia sejati bukan yang bebas dari bala, tetapi yang tahu cara membersihkan dirinya dari kegelapan hati.
Kini, di tengah hiruk-pikuk zaman yang serba cepat, makna ruwatan seakan bergeser. Banyak yang melupakannya, menganggapnya sekadar upacara kuno. Padahal, esensi ruwatan tak pernah pudar.
Setiap kali kita menata niat, memaafkan diri sendiri, meninggalkan kebiasaan buruk, atau menahan amarah—sesungguhnya kita sedang meruwat diri dalam bentuk lain.
Ruwatan mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar berlari mengejar waktu, tetapi juga berhenti sejenak untuk membersihkan batin, menata pikiran, dan menyelaraskan langkah dengan semesta. Sebab sejatinya, setiap manusia membawa “Kala” dalam dirinya—dan hanya dengan kesadaranlah, ia bisa berubah menjadi Cahaya. (Cyo)