spot_img
BerandaHumanioraKetika Waktu Kian Berlari: Mengapa Usia Membuat Hari Terasa Lebih Singkat

Ketika Waktu Kian Berlari: Mengapa Usia Membuat Hari Terasa Lebih Singkat

Bagi sebagian orang, kesadaran ini menimbulkan kecemasan halus — rasa bahwa hidup terlalu cepat menguap. Namun para ilmuwan memberi harapan: persepsi waktu bisa “diperlambat”, bukan dengan mengubah jam, tetapi dengan mengubah cara kita hidup

Oleh : Dhen Ba Gus e Ngarso

Rahasia Otak di Balik Cepatnya Waktu

Di usia kanak-kanak, sehari bisa terasa seperti selamanya. Pagi dipenuhi cahaya dan kejutan; sore seolah datang dengan lambat, menunggu tubuh kecil itu selesai bermain, menatap langit jingga yang berubah perlahan. Tapi entah sejak kapan, waktu mulai melesat. Tahun baru datang sebelum kita sempat menandai musim yang lewat.

Fenomena ini bukan sekadar nostalgia. Para ilmuwan menyebutnya sebagai percepatan subjektif waktu — sebuah ilusi psikologis yang membuat kita merasa hari-hari berlari lebih cepat seiring bertambahnya usia.

Menurut penelitian dari Duke University, penjelasannya terletak pada cara otak kita memproses dunia. Saat muda, otak bekerja seperti mesin yang baru diasah: cepat, tajam, penuh rasa ingin tahu. Setiap pengalaman baru — pertama kali naik sepeda, mencicipi es krim, atau mendengar petir di malam hari — direkam dengan detail kaya dalam ingatan. Otak memproses begitu banyak informasi per detik, hingga waktu terasa padat, penuh.

Namun, seiring usia bertambah, ritme hidup melambat. Rangsangan baru berkurang, rutinitas mengambil alih. Otak tak lagi menangkap setiap momen dengan semangat yang sama. “Ketika kita menua, kecepatan pemrosesan sinyal di otak menurun,” ujar Adrian Bejan, profesor teknik mesin dari Duke University. “Kita menerima lebih sedikit citra baru per detik. Itulah sebabnya waktu terasa berjalan lebih cepat.”

Di sisi lain, psikolog menambahkan lapisan makna lain: monotoni. Hidup dewasa sering terjebak dalam pola — pekerjaan, tanggung jawab, dan layar-layar digital yang membuat hari-hari nyaris identik. Karena tak banyak pengalaman baru yang “menandai” ingatan, otak menyimpan lebih sedikit titik acuan. Maka dalam retrospeksi, waktu terasa seolah melompat dari satu akhir pekan ke akhir pekan berikutnya, dari Januari langsung ke Desember.

Bagi sebagian orang, kesadaran ini menimbulkan kecemasan halus — rasa bahwa hidup terlalu cepat menguap. Namun para ilmuwan memberi harapan: persepsi waktu bisa “diperlambat”, bukan dengan mengubah jam, tetapi dengan mengubah cara kita hidup.

Cobalah berjalan di jalan yang belum pernah dilewati, pelajari alat musik, atau berkunjung ke tempat baru. Setiap hal baru memaksa otak untuk kembali “terjaga”, mencatat dunia dengan mata yang segar. Dalam momen itu, waktu terasa melebar — sama seperti dulu, ketika kita masih kecil, dan setiap hari adalah kejutan.

Pada akhirnya, mungkin waktu memang tak pernah berlari lebih cepat.
Kitalah yang, dalam rutinitas dan kebiasaan, lupa untuk benar-benar berhenti dan merasakannya.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments