spot_img
BerandaHumanioraKetika Sumatra dan Aceh Membuka Pintu Bantuan Asing

Ketika Sumatra dan Aceh Membuka Pintu Bantuan Asing

Dan entah kenapa, setiap bantuan asing selalu membawa rasa penasaran: mereka sangat dermawan… tapi kenapa mereka ingin sekali masuk sampai pelosok-pelosok yang bahkan kita sendiri jarang masuk?

Oleh Ratih Arunika

Begitu bencana datang, negeri ini seperti rumah tua yang tiba-tiba kebanjiran.
Penghuninya panik, genteng bocor, perabot hanyut.
Dan di tengah kekacauan itu, kita membuka pintu selebar-lebarnya.

Lalu dunia pun masuk—ramai sekali.
Ada yang membawa tenda, ada yang membawa makanan, ada yang membawa kamera dengan lensa yang lebih mahal dari rumah yang baru saja roboh.

“Ini bantuan,” kata mereka.
Tentu saja kita tersenyum, karena hanya orang yang keras kepala yang menolak nasi ketika dapurnya sudah hanyut.

Para relawan datang dengan sepenuh hati.
Tapi para negaranya datang dengan sepenuh agenda.
Yang satu membawa obat-obatan, yang lain membawa proposal kerja sama yang entah bagaimana muncul di tas mereka.

Tiba-tiba, daerah bencana jadi seperti bazar internasional:
satu NGO bagi-bagi beras, satunya lagi bagi-bagi brosur, dan yang lain bagi-bagi ideologi.
Yang tidak terbagi hanyalah koordinasi.

Di posko, orang-orang bingung:
“Ini bantuan siapa? Untuk siapa? Dari mana? Kenapa ada logo negara itu besar sekali?”
Semua orang bertanya kecuali korban—karena mereka sibuk bertahan hidup.

Dan entah kenapa, setiap bantuan asing selalu membawa rasa penasaran:
mereka sangat dermawan…
tapi kenapa mereka ingin sekali masuk sampai pelosok-pelosok yang bahkan kita sendiri jarang masuk?

Oh, tentu tidak ada maksud apa-apa.
Hanya ingin “membantu”.
Seperti biasa: bantuan dulu, kepentingan dibicarakan belakangan dalam ruangan ber-AC.

Sementara itu, pemerintah kita sibuk:
satu tangan menerima bantuan, tangan lainnya menandatangani banyak hal yang belum tentu kita baca sampai tamat.

Begitulah satir bencana:
ketika rumah kita roboh, dunia datang dengan banyak tangan,
tapi kita tak pernah benar-benar tahu mana yang datang membawa pertolongan,
dan mana yang datang membawa perhitungan.

Pada akhirnya, kita menerima bantuan itu juga—karena manusia tak bisa menolak ketika lapar.
Tapi kita selalu berharap, setelah semua tenda dibongkar dan semua bendera asing digulung,
yang tertinggal hanyalah kemanusiaan…
bukan tagihan politik yang datang beberapa tahun kemudian.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments