spot_img
BerandaHumanioraKetika Segalanya Lengkap, Tapi Jiwa Terasa Kosong

Ketika Segalanya Lengkap, Tapi Jiwa Terasa Kosong

Di zaman di mana agama sering dijalankan sebagai rutinitas, tasawuf hadir seperti embun pagi — mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menatap langit, dan merasakan kehadiran Tuhan dalam kesunyian hati.

LESINDO.COM – Di tengah hiruk-pikuk kota, suara adzan magrib memantul di antara gedung-gedung kaca. Joko Pambudi, 34 tahun, duduk diam di dalam mobilnya, memandangi langit yang mulai temaram. Di dashboard, masih menyala notifikasi rapat, target penjualan, dan pesan tak terbaca dari grup kantor. Tapi di dadanya — hanya ada sunyi yang tak bisa dijelaskan. “Aku punya segalanya,” katanya pelan. “Gaji cukup, rumah, keluarga, tapi entah kenapa tetap hampa. Salat jalan, tapi hatiku sering tak di situ.”

Hampir setiap malam, Joko Pambuadi mencoba menambal kekosongan itu dengan aktivitas baru — dari membaca buku motivasi, hingga ikut kelas pengembangan diri. Tapi rasa resahnya justru makin dalam, seolah ada yang tak tersentuh oleh semua itu.

Sampai suatu hari, seorang kawan memperkenalkannya pada majelis kecil di sudut masjid tua. Di sana, seorang guru sufi berbicara lembut tentang “rasa hadir dalam ibadah.” Bukan tentang hukum atau perdebatan, melainkan tentang melembutkan hati dan menghidupkan kesadaran. “Zikir itu bukan sekadar mengulang lafaz,” ujar sang guru. “Tapi mengembalikan hati yang tercerai-berai agar kembali utuh bersama Tuhan.”

Malam itu, Joko tak banyak bicara. Tapi ada sesuatu yang berubah. Ia mulai belajar diam — bukan karena kehilangan kata, tapi karena ingin mendengar lebih dalam.
Ia mulai berjalan lebih pelan, menyapa orang dengan tatapan yang sungguh. Ia mulai memahami bahwa spiritualitas bukan sekadar menjalankan kewajiban, melainkan merasakan makna di balik setiap gerak dan diam.

Dan di situlah, perlahan, kekosongan itu mulai terisi.
Bukan oleh hal baru, tapi oleh kehadiran.

Tasawuf, baginya, bukan pelarian. Ia justru menemukan kedamaian di tengah dunia yang sibuk. Menemukan Tuhan bukan di puncak gunung, tapi di sela-sela kehidupan yang sederhana: dalam helaan napas, dalam tatapan anaknya, dalam kesunyian setelah salat.

Kini, Joko  sering tersenyum saat ditanya tentang “pencapaian hidup”.
Ia hanya menjawab pelan, “Aku belum sempurna. Tapi setidaknya, sekarang aku hidup — bukan sekadar berjalan.”

Di zaman di mana agama sering dijalankan sebagai rutinitas, tasawuf hadir seperti embun pagi — mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menatap langit, dan merasakan kehadiran Tuhan dalam kesunyian hati.

Ketenangan tidak datang dari banyaknya hafalan atau ketatnya jadwal ibadah, melainkan dari rasa yang hidup dalam diri.
Rasa yang membuat ibadah menjadi percakapan, bukan kewajiban.
Rasa yang membuat kita sadar bahwa Tuhan tidak jauh, Ia ada di balik setiap napas yang kita ambil. Mungkin, kebahagiaan sejati bukan ketika segalanya lengkap, tapi ketika hati kembali menyala — menyadari bahwa yang kita cari di luar, sebenarnya telah lama bersemayam di dalam. (Hib)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments