spot_img
BerandaBudayaKetika Ogoh-ogoh Menari di Tanah Jawa: Simbol Harmoni di HUT ke-345 Kartasura

Ketika Ogoh-ogoh Menari di Tanah Jawa: Simbol Harmoni di HUT ke-345 Kartasura

Bagi masyarakat Bali, ogoh-ogoh bukan sekadar karya seni berukuran besar. Ia adalah perlambang bhuta kala—energi negatif yang mewakili hawa nafsu, keserakahan, dan amarah manusia. Menjelang Hari Nyepi, ogoh-ogoh biasanya diarak dan dibakar, sebagai simbol penyucian diri dari pengaruh duniawi.

LESINDO.COM – Minggu pagi (12/10/2025), langit Kartasura tampak cerah seolah ikut merayakan hari jadinya yang ke-345. Sejak pukul 07.00 WIB, ribuan warga telah memadati sepanjang Jalan Slamet Riyadi hingga Alun-alun Kartasura. Di sana, Kirab Budaya digelar dengan penuh semangat—sebuah pesta rakyat yang memadukan seni, tradisi, dan kebanggaan daerah.

Arak-arakan dimulai dengan gunungan hasil bumi dari 12 kelurahan, disusul parade reog, drumband pelajar, hingga peragaan busana adat Nusantara. Dentuman gamelan bersahut-sahutan dengan sorak penonton, menciptakan irama meriah yang menandai kebersamaan warga dari berbagai lapisan.

Namun, perhatian penonton benar-benar tertuju pada barisan terakhir: sebuah patung raksasa yang berdiri gagah di panggul beberapa orang disetiap sudut dengan batang bambu. Wujudnya menyerupai makhluk mitologi dengan wajah garang, lidah menjulur, dan kuku panjang—sebuah ogoh-ogoh, simbol khas dari tanah Bali.

Patung raksasa menyerupai makhluk mitologi dengan wajah garang, lidah menjulur, dan kuku panjang itu diarak di atas truk terbuka, menarik perhatian ribuan warga di sepanjang rute kirab. (mac)

Bagi masyarakat Bali, ogoh-ogoh bukan sekadar karya seni berukuran besar. Ia adalah perlambang bhuta kala—energi negatif yang mewakili hawa nafsu, keserakahan, dan amarah manusia. Menjelang Hari Nyepi, ogoh-ogoh biasanya diarak dan dibakar, sebagai simbol penyucian diri dari pengaruh duniawi.

Nilai filosofis itulah yang dihidupkan kembali dalam Kirab Budaya Kartasura tahun ini. Panitia tidak menghadirkannya untuk dibakar, melainkan untuk menyalakan kesadaran: bahwa setiap manusia memiliki sisi gelap yang perlu dijinakkan. Sosok menyeramkan itu menjadi cermin bagi penonton, mengingatkan agar tidak dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan yang dapat merusak harmoni hidup.

Kehadiran ogoh-ogoh di jantung tanah Jawa menjadi penanda betapa lenturnya budaya Indonesia. Di balik wajah garangnya, ia membawa pesan damai—tentang introspeksi, pembersihan diri, dan penghormatan terhadap perbedaan. Arak-arakan raksasa itu seolah menari di antara gamelan dan sorak warga, menjembatani nilai spiritual Bali dan kearifan lokal Jawa dalam satu tarikan napas budaya yang hidup dan menyatukan. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments